Home Featured Musuh Tidak Kelihatan, tetapi Sangat Mematikan

Musuh Tidak Kelihatan, tetapi Sangat Mematikan

0
Musuh Tidak Kelihatan, tetapi Sangat Mematikan
Ilustrasi: Pexel.com

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulo

Sejak Desember 2019 sampai saat ini, dunia menghadapi musuh yang tidak kelihatan tetapi sangat mematikan. Semua negara dan umat manusia kewalahan menghadapinya. Musuh yang dimaksud dalam artikel ini adalah Covid-19 atau corona virus disease 2019. Awalnya pandemi Covid-19 ini mulai terdektesi di Wuhan, Cina, pada Desember 2019 tidak begitu ditanggapi serius oleh pemerintah setempat, malah memberi teguran keras kepada dokter yang mengingatkan bahwa virus tersebut sangat mematikan dan belum ada obatnya. Pemerintah setempat menganggap pernyataan dokter tersebut sebagai meresahkan masyarakat.

Apa yang diprihatinkan seorang dokter bukan hoaks, pada pertengahan Desember 2019 menjadi realitas sejarah dalam kesehatan manusia di Wuhan, Cina, dengan mulai berjatuhan korban manusia meninggal karena serangan Covid-19, tanpa ampun dan tebang pilih. Untung pemerintah bersama masyarakat setempat dengan sigap berubah pola pikir seraya berkata, Covid-19 adalah musuh besar yang tidak kelihatan dan harus dihadapi dengan akal sehat.

Gerakan cepat, terukur, dan sistematis yang dilakulakan Pemerintah Wuhan, bahkan mendirikan sebuah rumah sakit darurat untuk pasien Covid-19 dibangun dalam tempo 10 hari dengan kapasitas 10.000 orang pasien. Sangat spektakuler dan akhirnya beruah manis. Usaha keras mereka, akhir April 2020, Wuhan untuk sementara mulai normal dan karantina wilayah dilonggarkan. Artinya dalam tempo kurang lebih empat bulan Pemerintah Wuhan sudah mampu mengendalikan dan menangani Covid-19 secara profesional.

Rupanya Covid-19 tidak perlu mengurus paspor dan visa karena mereka tidak punya kewarganegaraan, dengan bebas menyerang negara-negara di dunia dengan serangan mematikan, seperi India, Iran, Italia (negara-negara Eropa), Amerika Serikat, Rusia, bahkan hampir seluruh bangsa diserangnya. Selain merenggut nyawa manusia, juga menciptakan rasa takut, jeri, gelisah, ngeri, dengan meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk “kuburan masal covid 19”. Arab Saudi sebagai kota suci pada awal Maret 2020 bertindak cepat dan tanggap dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 dengan tidak mengizinkan semua warga asing masuk di negaranya termasuk mereka yamg melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman, Jepang, kewalahan mengahadapi Covid-19. Padahal, negara tersebut punya alat kesehatan/kedokteran canggih dan hanya “nyawa manusia” yang belum bisa mereka buat. Apalagi persenjataan militer dalam bentuk nuklir dapat menghacurkan isi bumi beserta makhluk hidup di atasnya, sekecil apa pun seperti semut ikut binasa. Akan tetapi, mereka tidak mampu menghancurkan Covid-19 malah sebaliknya. Mengapa? Jawabannya adalah dalam hidup di dunia hendaknya tidak mengandalkan kekuatan manusia melainkan andalkan kuasa Tuhan.

Awalnya Tidak Takut

Indonesia sebagai bagian dari anggota bangsa-bangsa tidak luput dari serangan Covid-19. Mulanya, reaksi masyarakat, para pejabat baik pusat maupun daerah, beragam. Beda-beda tipis dengan sikap pejabat di Wuhan bahwa Covid-19 jangan dicemaskan atau ditakuti. Muncul pernyataan, “Indonesia sebagai negara tropis Covid-19 tidak bakal bertahan hidup.” “Apalagi, di Indononsia banyak obat tradisional, seperti jamu bisa memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan Covid-19”, dan yang lebih meyakinkan lagi ada pejabat yang megatakan, “Dengan doa qunut(khusyuk) bisa terlindung dari Covid-19. Beragam statemen menghiasi ruang-ruang publik dan masyarakat mulai bimbang. Walaupun saat itu ada beberapa pengamat dan pemerhati kesehatan masyarakat menyarankan agar Covid-19 jangan disepelekan. Akhirnya masyarakat, termasuk penulis, menganggap babwa Covid-19 tidak perlu dicemaskan.

Kendati awal Maret 2020, Covid-19 sudah terdeteksi di kota Depok, Jawa Barat, dengan pasien 01 dan 02, tetapi masyarakat masih menganggap hal biasa, termasuk penulis sempat melakukan perjalanan panjang dari Nias menuju Jambi untuk menghadiri pesta pernikahan anak dari saudara sekampung, M. Gulo, yang berasal satu dusun dengan penulis yaitu Dusun Hiliduho, Desa Hilifadolo, Kecamatan Moroo, Kabupaten Nias Barat. Sehubungan tanggal 13-3-2020 tidak ada pesawat yang langsung ke Jambi, saya naik pesawat Garuda Gunungsitoli/Nias-Jakarta-Jambi, demikian juga waktu pulang tanggal 17-3-2020: Jambi-Jakarta-Medan-Gunungsitoli.

Jujur, saat berada di Jambi, saya mulai takut, cemas, dan gelisah ketika mendengar berita di TV bahwa Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif Covid-19 dan langsung dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Dalam siaran yang sama, saya mendengar pengumuman dari Gubernur DKI dan Menteri Pendidikan Nasional bahwa mulai hari Senin (16/3) hingga 30 Maret 2020 seluruh sekolah diliburkan, siswa belajar di rumah. Selama perjalanan pulang, saya mengenakan masker dan menjaga jarak, tetapi di dalam pesawat tidak bisa menjaga jarak.

Baca juga:  Rumah Milik Elison Hia dan Toko UD Elva Terbakar

Stay at Home

Bagi penulis tinggal di rumah tidak masalah karena sudah pensiun, tetapi bagi isteri, anak (ASN), menantu (BUMD) dan dua orang famili (swasta murni) tinggal di rumah menjadi masalah karena masih bekerja. Untunglah bapak Wali Kota Gunungsitoli cepat tanggap dengan meliburkan sekolah dalam pengertian siswa belajar di rumah mulai tanggal 16 Maret 2020. Dengan kebijakan tersebut, istri saya sebagai pengawas SD tidak harus tiap hari datang ke kantor dan sekolah, ia melakukan pengawasan dan memberi pengarahan kepada guru-guru melalui WA Group dan media sosial yang telah disepakati bersama. Sementara anggota keluarga yang lain harus menyesuaikan dengan kebijakan atasan mereka masing-masing, bahkan salah satu dari dua orang famili yang tinggal di rumah memilih berhenti bekerja.

Pengalaman emperis penulis sejak diterapkan “stay at home” terjadi perubahan yang signifikan, yaitu kebiasaan saya tiap hari jalan pagi (kalau tidak ada hujan) berhenti total. Mengapa? Katanya Covid-19 bisa menular melalaui udara. Sekarang, saya hanya jalan-jalan di halaman rumah selama 30 menit kemudian senam. Juga, jadwal sekali seminggu berenang dan terapi di RSU Gunungsitoli berhenti. Bukan hanya itu, beribadah di gereja, doa lingkungan, bertemu dengan teman-teman, ikut pesta, menjenguk teman yang sakit, melayat orang meninggal dan lain lain juga berhenti.

Sebagai makhluk sosial hal ini sungguh memberatkan, menyakitkan, dan menambah beban pikiran. Penulis hanya keluar rumah kalau cucu-cucu saya minta jalan-jalan, itu pun kalau tidak penting sekali tidak turun dari mobil.

Awalnya biasa-biasa saja, lama-lama berat juga. Apakah faktor umur dan pikiran penyakit pada muncul seperti batuk kering, asam lambung, badan meriang-riang, flu, asam urat dan tensi naik, dll. Untung sekali berobat ke dokter sembuh. Saat berobat ke dokter diberi nasihat jitu seperti: “Jangan banyak pikir, jangan takut/jeri/gelisah, jaga pola makan,olah raga, banyak doa dan berserah kepada Tuhan. Sebagai pasien tentu saya jawab dengan jitu pula ia dokter teri makasih. Namun, de facto tidak seperti itu.

Perasaan takut/gelisah/jeri terhadap Covid-19 selalu datang tanpa diundang, walaupun penulis sudah berusaha mengusirnya. Perasaan takut/gelisah/jeri muncul kembali kalau saya mendengan berita di TV, berita online, media sosial,yang mengumumkaan data positif,sembuh dan meninggal karena Covid-19.

Selain perasaan takut/gelisah/jeri, penulis juga merasa bersalah karena membatasi diri: Pertama, tidak menerima tamu yang mau curhat dan konsultasi tentang masalah yang lagi dihadapinya. Kedua, tidak membesuk sahabat/teman yang sedang sakit di rumah maupun dirumah sakit. Ketiga, tidak melayat dan hadir pada pemakaman teman/sahabat.

Keempat, tidak menghadiri undangaan pesta teman dan sahabat dan lain lain. Semua itu saya lakukan dengan alasan menghindari kerumunan, jaga jarak dan takut terpapar Covid-19. Alasannya masuk akal, tetapi dalam hidup saya seperti ada yang hilang. Kendatipun penulis telah meminta maaf melalui telepon seluler dan media sosial, tetap saja rasa bersalah dan sedih sulit dihilangkan.

Penulis yakin apa yang saya rasakan di atas banyak orang mengalaminya, hanya kadarnya berbeda-beda. Sampai kapan ini berakhir dan cara mengatasinya? Sampai Covid-19 ada obatnya. Selain berdoa dan berpasrah pada Tuhan sebagai sumber kehidupan, tetap waspada, ikuti imbauan pemerintah: jaga jarak, tinggal dirumah, hindari kerumunan, pakai masker, jaga kesehatan. Ingat, memulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan. Jangan harap Covid-19 berakhir tanpa usaha keras dan disiplin yang kuat dari semua pihak. Musuh seluruh bangsa itu kini bernama Covid-19, yang tidak terlihat kasatmata, tetapi terornya mengguncangkan.

Saya percaya bahwa di balik guncangan Covid-19 akan ada kemurahan Tuhan dan mari tetap bersukacita. Bukankah hati yang gembira adalah obat?

Mari bersama melawan Covid-19.

Adrianus Aroziduhu Gulo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.