Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö
Bukan takabur, banyak masyarakat mengalami apa yang saya rasakan, walaupun dalam rasa yang berbeda-beda dan waktu serta kondisi yang berlainan.
Ceritanya begini. Hari Selasa, 18 Desember 2018, ada berita dari adik saya, Generasi Nehe, bahwa bapak (mertua) sakit keras. Beliau mengalami sesak napas dan dirawat di Rumah Sakit Victory Telukdalam. Infus dan tabung oksigen terpasang di hidung. Kondisinya sangat parah. Apalagi umurnya yang sudah lebih dari 80 tahun, telah sesuai dengan yang dikatakan dalam Mazmur 90:10: “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap”.
Kami berencana membesuk bapak hari Rabu, 19 Desember 2018. Namun, kami tunda karena pada hari itu ada undangan dari sahabat saya, Pdt. BL. Hia, di Tugala-Sirombu yang bersukacita dengan pernikahan anaknya. Sebagai sahabat, saya berusaha datang, walaupun saya tidak bisa ikuti sampai selesai.
Sepulang dari Tugala, Sirombu, kami terus ke Telukdalam, tetapi terkendala kerena hari Rabu, 19 Desember 2018, sekitar pukul 11 siang, jembatan darurat Sungai Gidö ambruk saat dilewati truk dengan muatan yang ditengarai berlebih. Sejak kejadian itu, semua jenis kendaraan tidak bisa lewat. Manusia pun harus berhati-hati melewati agar tidak jatuh di sungai. Masyarakat pun menjerit karena kesulitan transportasi.
Keinginan kami ke Telukdalam tidak dapat dibendung karena kami punya firasat, umur bapak sudah tidak lama lagi. Selain umur sudah tua sekali, juga sering sakit-sakitan. Tiga tahun belakangan ini ia tidak bisa melihat dengan jelas. Jika berjalan pun harus dituntun.
Akibat kerusakan jembatan Sungai Gidö, kami terpaksa lewat Jalan Nias Tengah (Lölöfitumoi-Lölöwa’u-Amandaya-Telukdalam). Mengapa terpaksa? Sebab, selain jalannya rusak, seperti longsor dan ambles di puluhan titik, juga waktu tempuh menjadi lebih lama.
Kami berangkat dari Gunungsitoli pukul 16.oo sore dan tiba di Telukdalam pukul 21.30. Artinya, kami menempuh jalur itu 5 jam 30 menit. Sementara, apabila lewat Gidö-Idanögawo-Bawölato-Lahusa-Telukdalam paling lama 2 jam 30 menit. Demikian pula waktu pulang, kami lewat Nias Tengah lagi karena jembatan darurat Gidö masih belum bisa dilewati juga.
Kondisi kesehatan bapak mertua sebenarnya sempat membaik. Pada hari Jumat, 20 Desember sore, kami pulang ke Gunungsitoli. Namun, rencana Tuhan lain, malam Sabtu, 21 Desember 2018, sekitar pukul satu pagi, bapak menghadap Tuhannya, tempat asalnya bermula. Karena itu, kami kembali ke Telukdalam pada hari itu juga dan kami terpaksa melewati Nias Tengah lagi.
Selama perjalanan pergi-pulang, tidaklah berlebihan kalau saya mengatakan bahwa di beberapa titik jalan yang rusak mengerikan. Bagi orang yang punya riwayat penyakit jantung, hati-hati, jangan-jangan penyakit jantungnya bertambah. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, disarankan saat melewati beberapa titik jalan yang rusak itu sebaiknya turun dari kendaraan dan berjalan kaki beberapa puluh meter. Sebab, apabila tetap berada di dalam mobil, jika tidak menggunakan sabuk pengaman, bisa jadi badan tebanting-banting hingga bisa mengakibatkan muntah-muntah.
Apakah semua kendaraan pribadi atau kendaraan umum memiliki atau menyediakan fasilitas sabuk pengaman dalam mobil? Sulit menjawabnya. Yang jelas di beberapa titik jalan yang rusak kami turun dari mobil dan jalan beberapa puluh meter. Tidak apalah sekali-sekali melewat jalan berlumpur, yang penting jantungnya tidak berdenyut kencang, he-he-he….Gitu aja takut. Kata seorang teman berkelakar. Saya jawab, “Bukan begitu bos, namanya kehati-hatian. Hidup dan mati memang otoritas Tuhan, sih.”
Rusak Bersama Banjir
Rencana pulang ke Gunungsitoli Selasa, 25 Desember 2018. Hati kami mulai berbunga-bunga karena jembatan darurat Sungai Gidö sudah diperbaiki sehingga pada hari Minggu, 23 Desember, sudah bisa dilalui kendaraan pribadi atau kendaraan kecil. Saat anak saya, Agnes dengan suaminya, ke Telukdalam mobil mereka bisa lewat. Demikian juga saat Wali Kota Gunungsitoli Ir. Lachömizaro Zebua dan istrinya beserta rombogan menuju Telukdalam untuk melayat pamannya, almarhum Ama Seditan Nehe, juga mobil mereka bisa lewat. Akan tetapi sayang, hari Senin siang turun hujan deras di hulu Sungai Gidö dan sekitarnya. Dampak dari hujan, air Sungai Gidö meluap. Akibatnya, jembatan darurat yang yang baru diperbaiki umurnya hanya beberapa jam, kemudian hilang bersama banjir.
Senin, 24 Desember 2018 sore, saat Wali Kota Gunungsitoli beserta rombongan pulang ke Gunungsitoli, terpaksa lewat Nias Tengah yang telah dilabeli jalan rusak dalam bahasa Nias “lala silösökhi”. Sebutan ini sering dipelesetkan “niha silösökhi lala”. Secara harafiah berarti orang yang tidak bagus jalan. Sebutan “silö sökhi lala” juga mengandung arti lain, yaitu sebuah kutukan. Kalau orang tua saat marah mengatakan kepada anaknya silö sökhi lala, itu berarti selama hidupnya selalu susah dan menderita.
Bila hal ini dihubungkan dalam konteks perawatan jalan provisi itu berarti pejabat provinsi membiarkan masyarakat Nias susah dan menderita karena jalannya rusak, susah dalam arti pada semua harga naik, sementara hasil bumi turun.
Namanya juga jalan rusak tidak mau kompromi. Siapa saja yang lewat di beberapa titik jalan rusak tersebut pasti diajak bergoyang dan sport jantung. Jalan rusak tidak kenal pejabat, tokoh agama maupun masyarakat umum, yang penting goyang. Selamat bergoyang Pak Wali. He-he-he….
Apabila tidak mau bergoyang, turunlah dari kendaraan dan jalan beberpa puluh meter sekaligus berteman dengan lumpur. Selesai masalah? Tidak. Hati-hati jangan samapai kaki terpeleset karena jalannya licin apalagi sekarang lagi musim hujan. Walaupun demikian, jangan takut, jangan terlalu dipikirkan, jangan disimpan dihati nanti malah jadi pusing dan jatuh sakit. Anggap saja latihan dan pembinaan fisik dan mental. He-he-he.
Menyikapi jalan rusak di Jalan Nias Tengah ini untuk akses ke Telukdalam kita perlu meminta kepada Pemerintah Provinsi agar segera menganggarkan dana untuk pembangunannya. Saya sangat yakin para tokoh Nias yang ada di pusat bisa menggunakan kedekatan mereka agar pembangunan jalan ini menjadi prioritas.
Bukan apa-apa, ketika jalan Gunungsitoli-Telukdalam yang melewati Gidö rusak, maka Jalan Nias Tengah sebagai jalan alternatif seharusnya harus sudah siap. Bayangkan betapa kerugian yang daerah kita alami karena para wisatawan tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Bahkan, kita dengar ada yang membatalkan perjalanan ke Nias.
Kembali pada jembatan darurat. Penulis tidak memahami teknis membuat jembatan permanen ataupun jembatan darurat karena itu penulis tidak berkomentar tentang itu, biarlah para ahlinya yang memberi tanggapan. Hanya dalam hati kecil, penulis penuh tanya. Mengapa jembatan darurat yang baru dibuat terlalu rendah dan sangat dekat dengan permukaan air? Karena rendah, ketika banjir datang tidak terlalu sulit membawanya ke ilir. Mengapa jembatan darurat lama tidak dihitung berat beban yang bisa lewat? Mengapa alat berat diizinkan lewat kalau jembatan darurat lama tidak mampu menahan beban berat? Mengapa rekanan tidak memperhitungkan saat membangun jembatan darurat bahwa akan dilewati berbagai jenis kendaraan termasuk alat alat berat?
Akan tetapi, sudahlah, nasi sudah jadi bubur. Kepentingan masyarakat dinorduakan, sementara kentungan rekanan prioritas utama. Siapa berani ngomong? Masyarakat biasa suaranya hilang bersama angin. Sabar itulah obat mujarab. Apalagi baru lewat Natal dan menyongsong tahun baru.
Dampak pada Ekonomi
Penulis, juga bukan ahli ekonomi. Belum dan tidak akan melakukan penelitian dampak ambruknya jembatan darurat Sungai Gidö pada ekonomi rakyat. Disebut jembatan darurat Sungai Gidö karena saat ini Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah I Sumut sedang membangun jembatan permanen Sungai Gidö, dibuat jembatan darurat agar arus lalu lintas lancar dan tidak mengganggu perputaran ekonomi masyarakat. Penulis hanya bermaksud membagikan pengalaman selama dua kali pergi-pulang Gunungsitoli-Telukdalam.
Sederhana saja dan tidak dibuat-buat untuk mencari sensasi. Biasanya sebelum jembatan Gidö bermasalah, jika penulis pergi ke Telukdalam, pergi-pulang menggunakan solar kurang lebih 30 liter. Apabila diuangkan menjadi 30 liter X Rp 5.150 = Rp 154.500. Saat lewat Nias tengah menggunakan solar kurang lebih 70 liter. Bila diuangkan menjadi 70 liter X Rp 5.150 = 360.500. Itu baru dari segi bahan bakar. Belum lagi hal lain, seperti lama perjalanan antara 5 s/d 6 jam, itu pun kalau tidak ada kendaraan yang nyangkut di titik jalan yang rusak, makan siang/malam. Belum terhitung capeknya. Sementara bila lewat Gidö paling lama dua setengah jam dan jarang makan siang dan tidak terlalu capek. Biayanya dua kali lipat lebih. Bagi orang yang mampu tidak masalah, bagaimana orang yang pas-pasan atau orang susah?
Bagaimana masyarakat yang menggunakan kendaraan umum. Pasti ongkos naik dua kali lipat. Tidak hanya masalah ongkos, ada beberapa kendaraan yang tidak berani lewat Nias tengah, takut kendaraanya nyangkut. Sudah menjadi hukum ekonomi, apabila penawaran banyak, harga naik. Kendaraan sedikit, wajarlah ia menentukan ongkos. Apalagi saat Natal dan tahun baru, penumpang umum pun membeludak, sebab banyak yang libur dari luar Nias maupun yang berdomisili di Nias. Artinya orang yang butuh kendaraan umum atau sewa banyak.
Demikian juga kalau mereka transit kendaraan. Dari Ginungsitoli–Gido. Gidö–Telukdalam atau di tempat ia turun. Sebaliknya dari Telukdalam-Gidö–Gunungsitoli atau tempat ia turun. Selain ongkos mobil naik, ada biaya tambahan, yaitu biaya bongkar dan angkut barang yang sering ongkosnya tidak ada standar. Lagi-lagi nasi sudah jadi bubur, harga bahan pokok pada naik. Masyarakat hanya diharap sabar, sambil mengeluarkan biaya tambahan.
Dengan pengalaman penulis di atas, langsung atau tidak langsung dampak kerusakan jembatan Sungai Gidö dapat memengaruhi ekonomi masyarakat Nias. Untuk itu, kita meminta kepada semua pihak, terutama BPJN Wilayah I Sumut, untuk memprioritaskan perbaikan jembatan darurat Sungai Gidö. Kiranya pemborong tidak hanya memikirkan untungnya dan tidak menari-nari di atas penderitaan masyarakat Nias, melainkan peduli dan punya rasa kemanusiaan.
Tulisan ini saya tulis tanggal 27 Desember, belum ada tanda-tanda jembatan darurat Gido bisa dilewati Kendaraan berbadan kecil. Mudah-mudahan sesudah ini bisa. Semoga bermanfaat.