Home Featured Jalan Panjang dan Berliku Pengelolaan Perikanan di Pulau Nias

Jalan Panjang dan Berliku Pengelolaan Perikanan di Pulau Nias

0
Jalan Panjang dan Berliku Pengelolaan  Perikanan di Pulau Nias
Kapal nelayan di Nias Utara yang rata-rata memiliki kapasitas kecil (0.5 GT-5 GT) membuat hasil tangkapan tidak maksimal. —Dokumentasi: Sabar Jaya Telaumbanua

Oleh Apolonius Lase

Kala berkunjung di Pulau Nias, Presiden Joko Widodo mengatakan, dua unggulan yang bisa dikembangkan di Kepulauan Nias, yakni perikanan dan pariwisata. Itu diamini oleh banyak pihak. Anggota DPR pasti manggut-manggut, kepala daerah apalagi, ya, masyarakat Nias mengikuti saja.

Pada dasarnya, para nelayan hanya bisa menunggu apa realisasi dari pesan yang disampaikan orang nomor satu di Indonesia itu. Tentu, eksekusi di lapangan adalah para pemangku jabatan di kelima pemerintah daerah di Kepulauan Nias. Itu disampaikan Presiden Joko Widodo dua tahun lalu, tepatnya 19 Agustus 2016.

Kita patut memberikan apresiasi bahwa Kabupaten Nias Utara memberi perhatian dan upaya lebih dibandingkan dengan empat daerah lainnya di bidang pengelolaan perikanannya. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Nias Utara Sabar Jaya Telaumbanua secara gigih berjuang untuk memajukan para nelayan di daerahnya. Meskipun kita maklumi bahwa apa yang dilakukannya terbentur pada dana yang bisa dikucurkan kepada para nelayan guna meningkatkankan volume tangkap.

Para nelayan di Nias Utara menyortir hasil tangkapan untuk dijual ke penggalas Sibolga untuk selanjutnya diekspor ke Singapura, Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan. —Foto: Dokumentasi Sabar Jaya Telaumbanua

Pada kesempatan berbincang dengan Sabar Jaya, beberapa waktu lalu, ia membeberkan data bahwa hasil tangkapan para nelayan di daerahnya masih sangat minim. Belum bisa memenuhi kebutuhan ikan bagi seluruh masyarakat di kepulauan Nias, bahkan untuk daerahnya sendiri di Nias Utara.

Dari data kasar yang Sabar Jaya peroleh di lapangan, kebutuhan akan ikan masih sangat besar. Setiap minggu, Kepulauan Nias masih mendatangkan puluhan ton ikan dari luar Nias, terutama dari Cilacap, Padang, dan Sibolga. Diakui Sabar, para penggalas ikan agak kurang terbuka memberikan informasi terkait banyaknya ikan yang didatangkan dari luar.

“Kemarin saya tanya kepada penggalas ikan asal Awa’ai, Nias Utara, yang berjualan di Pasar Beringin, Gunungsitoli. Dirinya memasok ikan dari Jawa Tengah, yakni Cilacap, rata-rata 7 ton per minggu. Ia membelanjakan uangnya sekitar Rp 600 juta. Itu baru satu orang penggalas. Bayangkan, jika ada 5 penggalas ikan di Pasar Beringin,” ujar Sabar.

Dari anggota satuan pengamanan (satpam) Pasar Beringin, Sabar memperoleh informasi, bahwa setiap minggu ada sekitar 30 ton ikan olahan masuk ke Pasar Beringin. Ikan olahan itu didatangkan dari Sibolga; Air Bangis, Padang Pariaman; dan Cilacap, Jawa tengah.

Jika demikian, dalam satu bulan sekitar 120 ton ikan masuk ke Pasar Beringin. Artinya, setiap bulan ada Rp 10,3 miliar dibelanjakan untuk kebutuhan ikan di Pasar Beringin. Ini belum lagi menghitung pasar yang ada di Telukdalam, Nias Selatan. Katakanlah, kebutuhan ikan di Nias Selatan—karena wilayah luas dan jumlah penduduknya besar—berkisar 200 ton dalam sebulan, artinya Rp 17,1 miliar dibelanjakan untuk ikan.

Dari hitungan kasar ini, Kepulauan Nias mesti memproduksi sekitar 320 ton sebulan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat di Kepulauan Nias. Bayangkan, dengan demikian uang sebesar Rp 27,4 miliar bisa tetap beredar dan berputar di Nias dan akan menyejahterakan para nelayan di Kepulauan Nias.

Lalu, bagaimana dengan kondisi kita di Kepulauan Nias saat ini? Pertanyaan ini klasik. Jawabannya pun bisa dipastikan klasik, tak ada anggaran. Sudah jelas bahwa para nelayan di Kepulauan Nias kalah bersaing dengan nelayan-nelayan dari Sibolga ditambah lagi dari negara lain yang memiliki kapal-kapal besar dengan peralatan lengkap.

Seperti di Nias Utara, nelayan umumnya menggunakan alat tangkap pancing. Sementara nelayan Sibolga menggunakan pukat cincin, bagan motor, dan lain-lain dengan kapasitas kapal berbobot mati 10 ton hingga 150 ton. Bandingkan dengan kapasitas kapal motor nelayan di Kepulauan Nias yang hanya 0,5 GT hingga 5 GT. Jelas kalah jauh.

Sabar memastikan bahwa untuk bisa bersaing, nelayan di Kepulauan Nias mau tak mau harus dimodali dengan kapal yang kapasitasnya besar.

Baca juga:  Puskesmas Lahömi Ajak Warga Lansia Senam

Kebutuhan Mendesak

Dijelaskan Sabar, jika cuaca buruk dan saat terang bulang, di mana nelayan di Nias tidak bisa melaut, kebutuhan akan ikan segar terpaksa didatangkan dari Sibolga. Ikan dencis, tuna, kembung, dengan kualitas kurang bagus setidaknya masuk ke Nias minimal 5 ton dalam seminggu.

Permasalahan yang dihadapi nelayan di Nias salah satunya ketika tangkapan berlebih belum adanya gudang penyimpan dan pembeku ikan. “Jika kita memiliki cold storage, ikan tangkapan nelayan bisa disimpan dan menjadi suplai saat cuaca buruk dan terang bulan,” kata Sabar.

Hal lain adalah kepulauan Nias membutuhkan pelabuhan khusus perikanan yang bisa digunakan untuk bongkar muat kapal-kapal nelayan, termasuk dari Sibolga. Tak jarang, kata Sabar, para penggalas mendapatkan ikan asal Lahewa dengan membelinya di tengah laut dari kapal pukat cincin milik nelayan Sibolga.

“Transaksinya di tengah laut. Hal ini bisa didapatkan di Pulau Senau. Ini artinya sangat mendesak kita memiliki pelabuhan perikanan agar kapal-kapal dari mana pun mesti bertransaksi di pelabuhan itu,” kata Sabar, alumni SMA Negeri 3 Gunungsitoli itu.

Kebutuhan akan kapal motor nelayan seperti yang dimiliki para nelayan dari Sibolga (kapal berbobot 10 GT hingga 150 GT) sudah sebuah keharusan. Kebutuhan rielnya pun pasti harus melalui pendataan yang detail. “Itu memerlukan analisis estimasi linear goal programming untuk menghitungnya. Ini tentu butuh waktu dan biaya,” kata Sabar.

Jadi, kuncinya, ketika Kepulauan Nias sudah memiliki pelabuhan perikanan, di situ kelak akan menjadi pusat kegiatan dari menangkap ikan, docking kapal, bongkar-muat, sortir hasil tangkapan, pengalengan ikan, pembekuan ikan, hingga pemasaran.

“Untuk sementara, yang bisa dilakukan oleh nelayan Nias Utara adalah menyuplai ikan-ikan kualitas ekspor kepada penggalas Sibolga. Harganya bisa mencapai Rp 45.000 hingga Rp 130.000 per kg. Penampung di Sibolga menyortir dan mengeskpornya ke Singapura, Thailand, Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan. Nelayan-nelayan kita sementara fokus ke sana,” kata Sabar.

Kapal nelayan di Nias Utara yang rata-rata memiliki kapasitas kecil (0.5 GT-5 GT) membuat hasil tangkapan tidak maksimal. —Dokumentasi: Sabar Jaya Telaumbanua

Bayangkan jika Kepulauan Nias memiliki pelabuhan perikanan, nelayan tidak perlu jual ke Sibolga dengan harga yang diatur oleh pembeli. Nelayan-nelayan kita bisa langsung berhubungan dengan importir dari negara-negara luar.

Inti permasalahan perikanan dan kelautan kita sebenarnya sudah terlihat dan bisa kita petakan. Akan tetapi, mengapa sepertinya pemerintah daerah kita tak punya gebrakan untuk mengatasi permasalahan itu? Bukankah sebenarnya pemerintah pusat bisa diajak turun ke Kepulauan Nias dengan menyediakan proposal yang baik terkait kondisi dan potensi kita di perikanan dan kelautan?

Agaknya juga nelayan kita perlu didorong untuk bisa mendapatkan akses pada pinjaman atau pembiayaan kelautan. Dengan demikian, mereka bisa melengkapi diri dengan berbagai peralatan dengan pinjaman lunak tersebut.

Untuk informasi, seperti dilansir Kompas, Senin (1/10/2018), pemerintah sebenarnya menyediakan kredit yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) dengan bunga kecil, 3-4 persen per tahun. Hingga 2018 ini, dari Rp 1,35 triliun yang disiapkan, baru Rp 150 miliar yang digulirkan kepada nelayan.

Peran dan kerja keras dari para kepala daerah di Pulau Nias sekarang dinanti untuk segera duduk bersama dan berembuk untuk menyusun peta jalan pengembangan perikanan dan kelautan di Pulau Nias. Bukan tidak mungkin, ketika peta jalan itu sudah tersedia, Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti pasti akan mau melirik dan datang ke Pulau Nias.

Nah, maukah kelima daerah di Pulau Nias bersatu untuk memajukan pengembangan perikanan ini? Atau ungkapan bahwa “Kepulauan Nias unggul di pariwisata dan perinakan” kita tetap pertahankan sebagai slogan belaka?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.