Man Harefa—begitu ia akrab dipanggil—adalah sosok seniman yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Nias. Lebih dikenal sebagai seorang musisi, pria bernama lengkap Manötöna Harefa ini telah menghasilkan karya-karya legendaris, yang sampai saat ini masih tetap digemari.
Sebut saja lagu “Hulo Omasiõ” (Pulau Tercinta). Lagu yang ia diciptakan pada 1982 ini sering dinyanyikan terutama dalam acara formal. Lagu yang mungkin dapat diibaratkan sebagai versi lain dari lagu mars “Tanõ Niha” ini menceritakan tentang kecintaan orang Nias terhadap Pulau Nias. Dengan irama yang riang, lagu tersebut terdengar ringan serta menjadi pengobat rindu putra-putri Nias di perantauan.
“Saya tidak sembarangan dalam menciptakan lagu. Membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi,” tutur Man Harefa kepada reporter NBC, awal Oktober 2013.
Kebutuhan akan konsentrasi tinggi saat sedang mencipta lagu ini ternyata membuat dirinya tidak ingin diganggu oleh siapa pun, bahkan termasuk oleh anak dan istrinya. Walau ia mengaku terkadang gangguan semacam itu juga tak dapat ia hindari. Namun, Man Harefa mengungkapkan bahwa ada perasaan misterius yang tidak bisa ia gambarkan akan muncul setiap ia menyelesaikan sebuah lagu.
“Setelah selesai mencipta lagu, rasanya sangat misterius kenapa lagu tersebut bisa tercipta. Dan saya sangat bersyukur bahwa itu pasti adalah anugerah dari Tuhan,” ujar pria yang kini menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Keprotokolan Sekretariat Daerah Kabupaten Nias.
“Waktu itu, saya mengajar di SMA Xaverius, sedangkan istri saya mengajar di SMP Bunga Mawar. Di situlah awal kami mempererat cinta hingga saya mencipta lagu ‘Haya’ugõ’,” tutur ayah dua anak ini.
Sepanjang kariernya bermusik, Man Harefa telah menciptakan puluhan lagu. Namun, hanya sebagian kecil di antaranya yang direkam dan dipublikasikan. Walaupun demikian, lagu-lagu tersebut sukses di pasaran.
Tak hanya mencipta lagu, ia juga sering dipercaya untuk mengaransemen berbagai jenis lagu, termasuk lagu maena dan lagu rohani.
Sejak SD
Semasa kecil, Man Harefa yang lahir di Sabango, Kota Gunungsitoli, ini terpaksa ikut orangtua ke Tetehõsi, Idanõgawo, Kabupaten Nias. Pasalnya, sang ayah merupakan salah seorang guru SD di daerah tersebut. Di sanalah ia pertama kali mengenal musik. Jika ada sekelompok orang berkumpul dan bermain musik, khususnya gitar, ia dengan senang hati ikut menontonnya. Rasa senang mendengar alunan musik yang begitu merdu itulah yang menjadi awal ketertarikannya untuk bermain musik.
Keinginan untuk belajar musik semakin kuat ketika ia kembali lagi ke desa asalnya pada tahun 1970, saat berusia 9 tahun. Awalnya, ia belajar memainkan instrumen gitar kecil (ukelele) dan gitar secara otodidak.
Kecintaannya pada dunia musik juga ia tunjukkan dengan suka menggambar orang yang sedang bermain musik setiap ada mata pelajaran menggambar.
“Alat musik yang paling banyak dijumpai pada masa itu adalah keroco (ukulele), sedangkan gitar itu selain masih langka harganya juga cukup mahal makanya saya mulai belajar dari bermain ukulele dulu,” kata tamatan SD Swasta Mutiara Gunungsitoli ini.
“Pokoknya, ada suatu dorongan dari dalam diri saya yang tidak dapat dijelaskan,” ungkap Man Harefa saat NBC menanyakan mengapa ia begitu tertarik dengan dunia yang satu ini.Sebenarnya tak hanya bakat bermusik saja yang ia asah. Bakat bernyanyi juga mengalir dalam darahnya. Bakat bernyanyinya tersebut juga patut diperhitungkan. Buktinya, saat ia berusia 12 tahun, ia mengikuti lomba menyanyi yang merupakan agenda tahunan untuk merayakan dies natalis IKIP Gunungsitoli. Saat itu ia meraih juara pertama. Tak berhenti sampai di situ, ia pun aktif dalam bidang kesenian di sekolah atau di gereja dengan bergabung sebagai anggota vocal group.
Untuk lebih memantapkan dirinya dalam bidang ini pun, setelah menamatkan sekolahnya di SMA Negeri 1 Gunungsitoli pada 1980, ia memutuskan untuk melanjut di Jurusan Seni Musik IKIP Negeri Medan. Dari sinilah awalnya ia mengenal instrument keyboard.
“Ketika pulang ke Nias, saya coba mengembangkannya dan sayalah yang pertama kali memainkan organ tunggal atau keyboard di Kepulauan Nias dan hasilnya ternyata luar biasa,” kata Man Harefa.
Mengenang masa-masa awal terjun ke dunia entertainment sebagai musisi, Man Harefa boleh jadi dikatakan menjadi “penguasa” di zamannya. Bagaimana tidak, bila selama 6 tahun, tepatnya dari 1990 sampai 1996, ia menjadi satu-satunya pemilik organ tunggal. Kepiawaiannya dalam memainkan instrumen tersebut membuat ia perlahan dikenal oleh masyarakat.
“Yang pastinya saat bermain musik segala beban tidak terpikirkan. Pikiran serasa melayang bersama alunan musik yang sedang dimainkan,” tuturnya. Selain kebahagiaan dan ketenaran, satu hal lagi yang ia rasakan dalam bermain musik, yakni menerima imbalan. Memang awalnya imbalan yang ia dapatkan tidak seberapa. Akan tetapi, ia tetap bersyukur dan terus menekuni bidang tersebut sambil menyusun strategi agar tidak merugi. Perlahan namun pasti, kini ia sudah dapat menikmati hasil dari usahanya itu.
Selain itu, Man Harefa juga pernah tergabung dalam Mardiana Band pada sekitar tahun 1988, yang anggotanya antara lain, Sabar Zendrato. Beberapa album lagu juga ditelurkan oleh Mardiana Band ini.
Potensi “Ono Niha”
Selain menjadi seorang musisi, penyuka ikan pepes (nibiniögö) dan jus mangga ini juga sering diminta untuk menjadi juri dalam berbagai kompetisi menyanyi di Nias. Kompetisi ini digelar biasanya setiap peringatan hari besar nasional maupun keagamaan. Bagi Man Harefa, ajang lomba vokal solo, duet, trio, vocal group dan paduan suara, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, maupun pihak penyelenggara lainnya sangat mendukung perkembangan dunia musik di Nias.
Sayangnya, menurut dia, kompetisi semacam itu sekarang ini tidaklah seintens dulu. Saat ini penyelenggaraan kompetisi menyanyi lebih sering digelar oleh pihak selain pemerintah atau gereja. Kegiatan tersebut digelar dalam rangka peringatan atau hiburan semata.
“Masyarakat Nias sebenarnya sangat antusias di bidang seni suara. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari. Kalau dulu orang Nias pada saat sedang bekerja, mereka sambil bernyanyi hingga muncullah lailö atau mbölö-mbölö. Sementara kalau zaman sekarang sambil bekerja mereka bisa mendengar lagu apakah itu lewat HP, laptop atau media lainnya,” ujar Man Harefa.
Selain itu, menurut pengamatannya, orangtua di Nias saat ini juga cenderung mendukung anak-anaknya yang memiliki bakat bernyanyi dan bermusik. Ini terlihat dari semakin munculnya bibit-bibit baru yang berkualitas dan tidak kalah dari para musisi atau penyanyi Nias pada masa lampau. Begitupula di beberapa rumah juga kita dapat menemukan alat musik yang menunjukkan bahwa orang Nias semakin cinta dengan musik.
Melihat kemajuan tersebut, muncul satu pertanyaan. Dengan perkembangan itu tentunya kualitas musisi dan penyanyi Nias secara lokal tidak diragukan lagi. Lalu bagaimana bila dibandingkan secara nasional?
“Peluang orang Nias untuk bersaing selalu ada. Contohnya saja pada 1990-an, ada Sadeli Zebua juara Bintang Radio dan Televisi mewakili Provinsi Yogyakarta, kemudian pada 2008 Rahmad Hulu mewakili Provinsi Jawa Barat, pada Pesparawi tingkat Nasional, Juli 2012, di Kendari dan masih banyak lagi,” ujar Man Harefa.
Ia menyebutkan diantaranya Samatohu Z Ardel Chizeza Hulu yang meraih Juara I (Medali Emas) kategori lomba vokal solo anak-anak, almarhum Erwin Telaumbanua Juara I Lomba vokal solo tingkat Provinsi Sumatera Utara pada pertengahan tahun sembilan puluhan.
Ada pula yang masuk ke ajang pencarian bakat di televisi walau hanya sampai pada babak penyisihan di Jakarta, seperti Wira Harefa (Indonesia Idol), Rio Zebua (Indonesia Mencari Bakat), Brian Harefa (Indonesia Mencari Bakat), dan Juara I Bintang Radio 2013 tingkat Sumatera Selatan , Merry Christin Telaumbanua. Dan yang tidak kalah membanggakan adalah peraih rekor MURI, Jenny Stephanie Daeli atas prestasinya sebagai soprano termuda Indonesia.
Sarana Minim
Jika memang orang Nias memiliki kualitas seperti itu, mengapa sampai saat ini belum ada orang Nias yang bisa terkenal? Dan inilah jawaban Man Harefa.
“Yang pertama adalah sarana. Di setiap ibu kota kabupaten/kota, minimal ada sarana, seperti Bina Vokalia yang disediakan oleh pemerintah. Di sinilah mereka yang berbakat mendapat pendidikan ekstra dan dilatih oleh orang-orang yang ahli di bidang itu,” ujarnya.
Kendala berikut, menurut Man Harefa adalah belum mampunya orang Nias mengikuti standar yang ditetapkan dalam kompetisi bernyanyi ataupun bermusik. Ia mencontohkan pengalaman anak pertamanya Brian Harefa, yang saat itu bersama teman-temannya gagal melangkah ke tahap selanjutnya di ajang Indonesia Mencari Bakat (IMB).
“Kalau sudah sampai di tingkat nasional, kita harus tampil maksimal. Mulai dari make up (tata rias), pakaian (busana, aksesoris) dan koreografi, semuanya harus betul-betul dipersiapkan bahkan kalau perlu ada orang khusus yang menangani hal-hal semacam itu,” tuturnya.
Lagu Khas Nias
Tumbuh suburnya usaha organ tunggal di Nias tentunya mendapat apresiasi yang baik dari Man Harefa. Hal ini juga turut mendorong munculnya industri rekaman yang dari tahun ke tahun juga semakin bertambah. Ini menjadikan dunia entertainment di Nias bukan menjadi hal aneh lagi.
Meski pada satu sisi perkembangan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang positif, di sisi lainnya ada hal yang disayangkan. Perkembangan musik yang cenderung mengutamakan unsur komersial ketimbang unsur idealisme musik khas Nias menjadikan lagu dan musik yang dihasilkan tidak berkarakter.
“Kita syukuri kalau sekarang lagu Nias itu sudah menjadi tuan rumah di Pulau Nias sendiri. Ini bisa kita lihat pada setiap ada acara pesta, misalnya pesta kawin, lagu Nias yang paling banyak dinyanyikan. Namun, pada masa yang akan datang, para musisi Nias perlu membuat lagu yang punya khas Nias, sebagai contoh pada lagu Batak, Minang, ataupun Jawa yang dari musik intronya saja kita sudah tau bahwa itu lagu Batak atau Minang ataupun Jawa,” kata Man Harefa, jangan sebaliknya, kita mendengar suatu lagu alunan khas Batak, tetapi bahasanya bahasa Nias.
Untuk itu, menurut pria yang juga hobi travelling ini mengatakan, upaya lainnya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan adanya dukungan pemerintah daerah. Ia berharap pemerintah daerah di kepulauan Nias kembali membangkitkan kegiatan-kegiatan bernuansa budaya. Dengan kegiatan tersebut, secara tidak langsung akan memperkenalkan budaya Nias kepada masyarakat luas, terutama generasi muda.
Menyinggung soal jabatannya sebagai Kepala Bagian Humas di Kabupaten Nias, secara pribadi Man Harefa juga berjanji akan selalu berupaya membantu siapa pun yang mau berkonsultasi tentang penyelenggaraan kegiatan seni suara atau musik. Konsultasi ini pun tidak terbatas, bisa dalam bentuk membuat atau mengaransemen lagu atau dalam bentuk lain.
“Dan kalau dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saya sebagai Kepala Bagian Humas, saya hanya bisa membantu memublikasikannya,” ujarnya.
Rencana ke Depan
Ia memang lahir bukan dari keluarga musisi, tetapi kesetiaannya terhadap dunia musik patut diacungi jempol. Kedua anaknya, Brian dan Uti (panggilan Buruti Rimandani Harefa), tampaknya mengikuti jejak sang ayah. Brian memang betul-betul fokus pada dunia musik dengan masuk Sekolah Menengah Musik, kemudian mengambil jurusan Ethnomusikologi pada saat kuliah. Sementara sang adik, Uti, meski tak mendapat restu yang sama untuk menempuh pendidikan seni, ia memiliki bakat dalam bernyanyi dan piawai memainkan keyboard.
Selain itu, lahir beberapa musisi dari tangan dinginnya yang ia kader menjadi pemain keyboard dan pada kenyataan berhasil menghidupi keluarganya dari pekerjaan tersebut. Mereka di antaranya Rudolf Harefa (keybordist di Jakarta), Kasmen Zebua, Beba Harefa, dan Rudolf Telaumbanua.
“Memang salah satu rencana saya ke depan adalah apabila saya sudah berusia 50 tahun, saya berhenti bermain keyboard kecuali acara tertentu. Ini bertujuan supaya yang muda-muda bisa tumbuh, berkembang. Komitmen itu sudah saya laksanakan,” kata Man Harefa.
Meski demikian, bukan Man Harefa namanya jika tidak memiliki rencana di balik perkataannya tersebut. Ya, lagi-lagi menyinggung soal kecintaannya pada musik, ia pun telah memutuskan saat pensiun nanti ia akan kembali menyeriusi dunia musik, tetapi sebatas di belakang panggung saja. Kegiatan yang ia maksud berupa industri rekaman, kursus, ataupun apa saja yang berhubungan dengan musik.
Biodata Singkat
- Nama lengkap: Manõtõna Harefa
- Nama panggilan: Man. Harefa
- Tempat, tanggal lahir: Sabango, Gunungsitoli, 15 Mei 1961
- Anak ke: 4 dari 10 bersaudara
- Alamat: Jalan JP. Vallon No 5, Gunungsitoli
- Pekerjaan: Pegawai negeri sipil
- Jabatan: Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Keprotokolan Sekretariat Daerah Kabupaten Nias
- Pendidikan terakhir: D3 Jurusan Seni Musik IKIP Negeri Medan (1983)
- Istri: Darnis Nduru (49), mantan pimpinan PT. Bank Danamon Tbk. Cabang Gunungsitoli
- Anak:
- Brian Lasosaro Harefa, S.Sn (22), Mahasiswa Pascasarjana USU Medan
- Buruti Rimandani Harefa (19), Mahasiswi USU Medan jurusan Sastra Mandarin
- Riwayat pekerjaan:
- Guru di beberapa SMA (1985-1989)
- Penilik Kebudayaan Depdikbudcam Gunungsitoli (1993-2001)
- Pengawas Dikmenum Dinas Pendidikan Kabupaten Nias (2005-2010)
- Sekretaris Disporabudpar Kabupaten Nias (2010-2012)
- Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Keprotokolan Sekretariat Daerah Kabupaten Nias (2012-sekarang)
- Prestasi/Penghargaan:
- Juara I Song Contest Junior Kabupaten Nias (1974)
- Juara I Lomba Cipta Lagu Mars Gunungsitoli (1985)
- Juara I Lomba Cipta Lagu Pesta Ya’ahowu ke 5 (1994)
- Sertifikat Manajemen Keprotokolan dari STIA-LAN (2012)
- Sertifikat Conference Reformed Ministers’ Kuala Lumpur, Malaysia (2007, 2011, 2012, 2013)
- Kegiatan lainnya: Wakil Sekretaris Lembaga Budaya Nias. [NBC/ANOVERLIS HULU]