Home Budaya Stop Perkawinan Anak Usia Dini di Kepulauan Nias

Stop Perkawinan Anak Usia Dini di Kepulauan Nias

0
Stop Perkawinan Anak Usia Dini di Kepulauan Nias

Esther GN Telaumbanua (Rumah Nias)

Praktik perkawinan anak masih terjadi di Indonesia, termasuk di Kepulauan Nias. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, prevalensi perkawinan anak di kabupaten/kota di Kepulauan Nias relatif tinggi di atas angka provinsi. Untuk Kabupaten Nias Selatan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2016  pada angka 9,74 persen menjadi 14,33 persen pada 2020. Angka ini tertinggi di antara kabupaten/kota lainnya di Kepulauan Nias bahkan untuk Provinsi Sumatera Utara dan rata-rata nasional.  Posisi Sumatera Utara saat ini pada urutan ke-5 di bawah angka nasional. Sebelumnya pada urutan ke-13, di atas angka nasional. Hal ini berbanding terbalik dengan penurunan angka prevalensi  Sumatera Utara, dari 12,42 persen (2018)  menjadi  5,95 persen (2020), dan  prevalensi nasional atau Indonesia dari 11,21 persen (2018) menjadi  10,35 persen (2020), di Kabupaten Nias Selatan justru terjadi peningkatan.

Apakah arti angka prevalensi 14,3 persen? Artinya, prevalensi perempuan usia 20–24 tahun yang perkawinan pertamanya sebelum usia 18 tahun. Jadi, pada setiap 100 perkawinan yang ada, terdapat sekitar 14 orang yang menikah dalam usia anak atau terjadi praktik perkawinan anak.

Prevalensi perkawinan anak merupakan  salah satu dasar pengambilan kebijakan untuk perlindungan anak dari praktik perkawinan anak serta menekan laju pertumbuhan penduduk. Jika prevalensi perkawinan anak tinggi, akan terdampak antara lain pada kemiskinan, tingkat kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan, kesetaraan jender, pekerjaan layak, pertumbuhan ekonomi, dan kesenjangan antargenerasi.

Semua ini merupakan  indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).  Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, indikator kesejahteraan rakyat meliputi angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf untuk bidang pendidikan, angka morbiditas, pemanfaatan fasilitas kesehatan, jaminan kesehatan, penolong persalinan, umur perkawinan pertama, partisipasi KB untuk bidang fertilitas dan KB, kondisi tempat tinggal, sumber air untuk minum, bidang perumahan, akses internet dalam pemanfaatan teknologi informasi, serta bantuan/program pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. Data berkaitan dengan umur perkawinan pertama menunjukkan kondisi perkawinan anak  di suatu daerah.

Apa itu perkawinan anak? 

Perkawinan anak adalah ikatan perkawinan yang dilangsungkan oleh  pasangan yang masih dalam kategori usia anak. Berdasarkan UU No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, batas minimal untuk sebuah perkawinan adalah 19 tahun. Jadi, perkawinan di mana salah satu pasangan atau keduanya berusia di bawah 19 tahun, merupakan perkawinan anak (child marriage).  UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU ini mengamanatkan bahwa anak (perempuan dan laki-laki) harus diberikan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Hak-hak anak ini dikelompokkan dalam 5 kluster (hak sipil, hak mendapatkan pengasuhan, hak pendidikan & pemanfaatan waktu luang, hak kesehatan & kesejahteraan, dan hak perlindungan khusus) dengan 24 indikator  yang harus dicapai  sebuah wilayah untuk dikategorikan sebagai kabupaten/kota layak anak (KLA) dan desa layak anak yang diprogramkan oleh Kementerian PPPA.

Perkawinan anak menjadi indikator ketujuh pada kluster 2 (lingkungan keluarga dan pengasuhan anak). KLA  dan Desa Layak Anak adalah salah satu bentuk intervensi pemerintah selain sosialisasi penghentian perkawinan anak secara nasional (Rohikah Kurniadi, KPPPA).

Mengapa perkawinan anak harus dihentikan?

Perkawinan anak berkaitan dan berdampak multidimensi. Perkawinan anak memiliki faktor risiko berkaitan, antara lain, dengan masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kesejahteraan dan perlindungan sosial. Perkawinan anak  mengakhiri masa remaja anak dan membuatnya  rentan mengalami putus sekolah.  Dengan pilihan dan peluang yang terbatas, banyak yang menjadi pekerja anak dengan tingkat upah yang rendah.

Hal ini berpotensi melanggengkan kemiskinan dan memperkuat lingkarannya. Pdt. Dorkas Daeli (BNKP) mengatakan bahwa keinginan untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan menjadi sulit dicapai. Hal tersebut terjadi karena motivasi belajar yang dimiliki mulai mengendur karena banyaknya tanggung jawab yang harus diemban setelah menikah. Di sisi lain, seseorang yang berpendidikan rendah berakibat pada sulitnya memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan berupah tinggi kecuali bekerja sebagai buruh. Suatu keluarga berpendapatan rendah mengalami kesulitan memenuhi seluruh kebutuhan, termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan.

Anak yang menikah, dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 19 tahun berisiko  bukan saja  pada pasangan  anak yang menikah, melainkan juga pada anak yang akan dilahirkan.  Perempuan yang kawin pada usia anak mengalami masalah kesehatan reproduksi. Anatomi tubuh anak sesungguhnya belum siap untuk proses mengandung, melahirkan dan menyusui. Kehamilan pada usia perempuan yang masih sangat muda berisiko menyebabkan keguguran, bayi dengan berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, kelainan pada bayi, dan stunting. Bahkan, dapat menyebabkan kematian bayi saat dilahirkan, depresi pasca-melahirkan dan kematian saat melahirkan bagi si ibu.

Berat badan lahir rendah pada bayi adalah salah satu faktor penyebab langsung stunting pada anak balita. Anak stunting mengalami pertumbuhan yang lambat,  daya tahan tubuh rendah, dan kecerdasan yang kurang.

Kedewasaan pasangan usia anak sangat berpengaruh terhadap pengasuhan dan  tumbuh-kembang anak. Anak-anak dari perkawinan anak berpotensi mengalami salah pengasuhan dan rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan akibat ketidaksiapan secara psikologis, emosional,  dan intelektual orangtua usia anak. Kekerasan dalam rumah tangga sampai  perceraian merupakan risiko lainnya.

Susenas-BPS (2018) menyebutkan, dalam sepuluh (10) tahun terakhir, penurunan angka  perkawinan anak di Indonesia sangat kecil. Artinya, praktik perkawinan anak semakin meningkat terjadi di Indonesia, dengan kecenderungan lebih besar di perdesaan. Kementerian PPPA  (2019) bahkan mengatakan bahwa Indonesia pada posisi darurat perkawinan anak. Dengan prevalensi perkawinan anak (2018) 11,21 persen dan diperkirakan terjadi 1.220.900 perkawinan anak di Indonesia. Artinya, 1 dari  9  perkawinan adalah perkawinan anak.  Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-2 di ASEAN dan 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.

Child Marriage Report 2020 (Bappenas-BPS-Unicef) menyajikan berbagai data yang menunjukkan, ada kecenderungan peningkatan angka dari tahun ke tahun dan selalu berhubungan dengan berbagai upaya perlindungan hukum terhadap anak. Karena itulah langkah percepatan pencegahannya  tidak bisa ditunda.

Baca juga:  Jalan Rusak, Masyarakat Alo’oa Gotong Royong

Faktor penyebab dan kerentanan

Perkawinan anak di Indonesia  berhubungan dengan berbagai faktor, baik bersifat struktural maupun yang berasal dari komunitas dan lingkungannya, keluarga, maupun kapasitas individual. Tidak hanya faktor kemiskinan, karena  beberapa daerah di Indonesia yang prevalensinya tinggi  bukan berkategori  daerah miskin atau tertinggal.

Penelitian yang dilakukan oleh PKPA Nias (2008) dan Litbang BNKP (2018) mengungkap permasalahan dan faktor penyebab perkawinan anak, antara lain, adalah  pengaruh adat dan budaya, alasan kehormatan keluarga atau tekanan orang tua, karena kehamilan yang tidak diinginkan, pendidikan rendah, masalah ekonomi, kemauan sendiri, dan pengaruh media massa.

Dalam diskusi tematik yang diselenggarakan oleh Rumah Nias (27 Mei  2021), Chairidani dari PKPA Nias menyatakan bahwa praktik perkawinan anak masih berlangsung sampai saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan beragamnya kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak Nias yang ditemui dan ditangani. Tradisi dan budaya  patriarki masih memengaruhi cara pandang keluarga di Kepulauan Nias, terutama di wilayah perdesaan atau pedalaman, dalam hal perkawinan. Anak perempuan masih dianggap sebagai aset  dan alasan utama menikahkan anak perempuan adalah untuk kehormatan keluarga.

Senada dengan itu, Dr. Sitasi Zagȍtȍ menjelaskan lebih lanjut bahwa pada budaya Nias posisi perempuan adalah entitas yang harus dilindungi, diawasi dan diarahkan di mana perkawinan dinilai sebagai wadah yang sah bagi sebagian orang untuk tujuan itu. Dengan dasar  itu, perkawinan bagi anak perempuan  dilaksanakan oleh orangtua untuk melindungi harkat dan martabat anak perempuan dari aktivitas atau perilaku seksual yang tidak pantas.

Selain itu, untuk menghindari terjadinya atua barȍ atau perawan tua yang dianggap aib, maka anak perempuan dikawinkan pada usia masih muda. Perkawinan anak juga menjadi cara mempertahankan hubungan etnis atau komunitas di samping sebagai strategi koping ekonomi yang mengurangi biaya membesarkan anak perempuan. Di sini, kemiskinan menjadi alasan  dan perkawinan anak sebagai pilihan jalan keluar.

Proses pernikahan di Kepulauan Nias  merupakan hajatan  sosial yang luas dan  diatur di dalam hukum adat yang ketat.  Setiap wilayah memiliki cara dan aturan yang berbeda, tetapi konsep  sebuah pernikahan orang Nias relatif  sama mempraktikkan tiga tahap, yakni tahap mencari calon mempelai (istri), lamaran dan pertunangan, pelaksanaan pernikahan (falȍŵa). Dalam setiap proses ini, peran orang tua dominan  dalam memutuskan sampai menentukan besar jujuran (böwö).

Sesungguhnya, peran orang tua untuk menikahkan anak perempuan dapat diartikan sebagai kontrol atas seksualitas dalam melindungi kehormatan keluarga dan perempuan. Sementara itu, anak perempuan atau ono alawe dikonstruksikan  sebagai karakter yang penurut dan tidak membantah.

Budaya patriarki memaksa anak perempuan menerima jodohnya dalam perkawinan dan menjadi  bȍli gana’a (harta yang dibeli) bagi keluarga suami, menerima peran domestiknya dan memiliki peran terbatas dalam masyarakat yang lebih luas. Perkawinan anak membatasi perempuan untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, bahkan layanan bagi kesehatan reproduksinya karena kurangnya pengetahuan dan bukan pengambil keputusan. Ini adalah bentuk-bentuk masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan jender yang perlu diperhatikan.

Langkah pencegahan dan penanganan.

Mencermati angka prevalensi perkawinan anak di Kepulauan Nias yang relatif tinggi, khususnya di Kabupaten Nias Selatan, sangat diperlukan upaya pencegahan. Diperlukan upaya yang lebih cepat dan lebih terpadu berbasis pemetaan dan pendataan untuk menyusun langkah pencegahan yang efektif  dan mengatasi dampak-dampak negatifnya.

Setidaknya dari upaya pencegahan diharapkan terjadi, antara lain, penurunan angka perkawinan anak, meningkatnya kualitas pengasuhan anak, menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan, meningkatnya status kesehatan dan gizi anak, menurunnya angka stunting.

Selain itu, terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah dan menurunnya angka putus sekolah, menurunnya jumlah pekerja anak dan berbagai tindak kekerasan terhadap anak. Bila peningkatan positif, ini berpotensi meningkatnya pada kesejahteraan dan nilai IPM daerah.

Penurunan angka perkawinan anak yang dikomitmenkan dengan serius akan berimplikasi pada tercapainya target-target pembangunan dengan partisipasi masyarakat yang lebih maksimal dan tingkat kesejahteraan umum yang ingin dicapai.

Pendataan dan pemetaan hal penting untuk menentukan pendekatan yang efektif, inklusif dan menghindari deklanasi layanan sosial. Upaya pencegahan semestinya diiringi pula dengan penanganan terhadap keluarga yang telanjur melangsungkan perkawinan anak melalui program pemberdayaan vokasi dan ekonomi yang efektif.

Perkawinan anak menunjukkan kualitas kependudukan, berdampak pada ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Sosialisasi dan edukasi harus digiatkan dari sekarang dan dijadikan sebuah gerakan sosial yang mengikutsertakan seluruh kelompok pemangku kepentingan (stakeholders) dan partisipasi kaum muda.

Dalam bidang pendidikan dan budaya, diiringi revitalisasi dan literasi nilai-nilai baru, seperti tentang adat (hada, bȍwȍ), pemaknaan yang hakiki tentang kehidupan (fa’auri), keluarga (fongambatȍ), lakhȍmi dan perkawinan (fangowalu) kontekstual sesuai masanya.

Sosialisasi dan edukasi seluasnya diarahkan untuk perubahan pola pikir (mindset) diiringi dengan program pemberdayaan keluarga dan membangun resiliensi bagi anak  agar mampu bersuara dan menolak tindakan kekerasan dan pelanggaran hak terhadapnya.

Perwujudannya didukung dengan peraturan-peraturan daerah yang diperlukan, penyediaan pusat informasi dan pelayanan korban disertai pengawasan dan penegakan hukum untuk mencegah perkawinan anak dan sekaligus sebagai perlindungan anak dari perkawinan anak dan tindakan kekerasan lainnya. Untuk generasi yang berkualitas dan kehidupan yang lebih baik, stop perkawinan anak!  —— (egnt)

 

Daftar pustaka:

  1. Sitasi Zagötö, Pernikahan Usia Anak, Makalah Diskusi Tematis Perkawinan Anak, Rumah Nias, 2021
  2. Chairidani Purnamawati, Hasil Penelitian Kekerasan Perempuan Dan Pernikahan Anak Di Nias Tahun 2008, Makalah Diskusi Tematis Perkawinan Anak, Rumah Nias, 2021
  3. Pdt. Dr. Dorkas Daeli, MTh, Perkawinan Anak: Penyebab, Dampak dan Upaya pencegahan, Makalah Diskusi Tematis Perkawinan Anak, Rumah Nias, 2021
  4. Rohikah Kurnia Sari, SH, MSi, Pencegahan Perkawinan Anak-Kementerian PPPA, Makalah Diskusi Tematis Perkawinan Anak, Rumah Nias, 2021
  5. Perkawinan Usia Anak di Nias, Hasil Penelitian, Lembaga STT BNKP Sundermann, 2018.
  6. Child Marriage Report (2018) dan Puskapa  (2020), Bappenas-BPS-Unicef

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.