Oleh Reliusman Dachi
Senja di sore Seorang bayi hendak melihat dunia di lebat keringat ibunya yang dihujani kelelahan Sang ibu terus berjuang Berharap anaknya bisa lahir Lahir sebagai pejuang -anak pejuang-pemikir Sang bayi mungil Perlahan Kepalanya mulai keluar Matanya terbuka dilihatnya sekelilingnya : cemar Telinganya mendengar mendengar longlongan kebohongan Hidungnya mencium mencium rapi bau busuk di antara manusia yang terjalin pada benang-benang safari Dia menangis Dia menjerit Dia malu Malu melihat manusia rakus di kerontang lumbung negeri ini -malu melihat manusia yang berdua rupa seperti buas dan tamak. Amboy Dia enggan enggan merayap di kulit jangat bumi yang dierami selimut kemunafikan enggan melihat mekar kebun penindasan -enggan kepada rakus Dia bersedih matanya gemercik kabut Dia malu matanya terkatup Perlahan Dia sebut-sebut nama ibunya dengan irama ampunan Dia tidak mau melihat manusia -manusia dua rupa seperti S’rigala dan Kucing hutan di lukisan bendera yang luntur Akhirnya Pada gelegar pecah sawah di urat-urat wajahnya yang meneteskan getah sedih air pancur dan muak racun lumpur Dia kembali ke rahim ibunya di antara daun-daun yang hanyut terpaut reranting
Reliusman Dachi, Mahasiswa Fisika Fakultas MIPA UGM Angkatan 2013. Lahir di Hiliaurifa, Hilisimaetanö, Kecamatan Maniamölö, Kabupaten Nias Selatan, 17 September 1994. Tinggal di Sendowo G67 RT 014, RW 056 Sinduadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta
Redaksi Kabarnias.com akan memuat puisi, cerpen, cerita bersambung, atau esai yang memiliki latar terkait dengan tradisi, budaya, atau geografis di Pulau Nias. Terima kasih
Terimakasih sudah dimuat
Sip… Sama-sama.