Filosofi dalam Peribahasa “Bila-bila Gafi Manu”

0
2766
Ilustrasi ayam bertengger -- Gambar oleh © Corbis

Oleh Martianus Zega

Kekeluargaan di Nias ibarat bulu-bulu pada sayap unggas, yang terlihat bengkok ketika bertengger, tetapi terlihat lurus ketika terbang.

Pernahkah Anda mendengar ungkapan peribahasa Nias, Bila-bila gafi manu zi fatalifusö, abila na manuge ba adölö sa na mohombo. Bagi saya, ini filosofi yang unik. Mungkin saja ada peribahasa serupa dalam kultur lain, tetapi mengambil analogi bulu dari sayap-sayap ayam (dan tentunya sayap semua makhluk yang bisa terbang, kecuali kapal terbang) tidak pernah saya dengar.

Sebelum saya melanjutkan, baiklah kita lihat dulu arti harafiah dari semua suku kata yang membentuk peribahasa itu.

  • Bila-bila: kebengkokan
  • gafi (dari afi): sayap
  • manu: ayam
  • zi: yang
  • fatalifusö: bersaudara
  • abila: bengkok
  • na: kalau
  • manuge: bertengger
  • basa: tetapi
  • adölö: lurus
  • sa: (imbuhan pembeda ”dan” atau ”tetapi”)
  • na: kalau
  • mohombo: terbang

Jadi harafiahnya: ”Orang yang bersaudara itu ibarat sayap ayam, bengkok saat bertengger, lurus kala terbang.”

Saya mencoba memahami makna peribahasa itu dengan beberapa pemahaman. Pertama, orang-orang yang bersaudara kalau terus diam tidak melakukan apa-apa, terlihat bengkok, tetapi ketika bersama melakukan sesuatu akan terlihat indah dan lurus.

Kedua, segala hal yang bengkok (pertengkaran, perbedaan pendapat, hal-hal yang mungkin saja itu aib) bisa saja terjadi bahkan mustahil dihindari, tetapi biarlah itu hanya di tempat bertengger saja, ketika terbang harus tampak indah dan lurus.

Ketiga, dalam arti kearifan lokal, di Nias sana (ba dugela, ba mbanuada) ada banyak hal yang bengkok yang kadang kita pun malu dan beberapa orang bahkan menyangkal ke-Nias-annya mungkin karena tidak bisa menerima kenyataan itu, hanya ada di ”tugela” saja. Biarlah ketika kita keluar, ke kancah yang lebih luas, kita powerfull seperti sayap-sayap yang membentang.

Rekan-rekan bisa menambah pemahaman Anda mengenai ungkapan itu, bahkan mungkin juga mengoreksi kalau saya ternyata salah memaknainya sehingga kita bisa saling memperkaya.

Sejak 26 Juni lalu, saya bersama dua anak saya telah merencanakan untuk berlibur ke Bandung dan Jakarta dan di sela-selanya saya akan ke Nias melihat finalisasi kuburan istri saya yang telah dipanggil Tuhan pada akhir April lalu.

Selain mengunjungi tempat-tempat wisata, kami juga berusaha menyempatkan mampir pada kerabat, teman, dan rekan-rekan yang ada di Bandung dan Jakarta. Saat ketemu Bapa Talu Ama Ira, sepupu sekaligus teman baik dari ayah saya, saya banyak belajar dari beliau bagaimana seharusnya saya sebagai orang Nias dengan fa’a’ononiha (keniasan) bisa menempatkan diri dan tetap menjaga persaudaraan, baik dalam lingkup keluarga inti maupun keluarga besar.

Ada banyak keprihatinan terungkap, tetapi bersyukur bahwa hal-hal yang baik jauh lebih banyak daripada hal-hal yang buruk.

Kearifan

Tidaklah mudah bagi generasi ini untuk tetap berada di dalam nilai-nilai kearifan generasi sebelum kita kalau kita tidak dengan sengaja mengalahkan segala keengganan dan sifat dasar manusiawi kita yang pada dasarnya lebih senang soliter (menyendiri) daripada solider (berbela rasa, berkomunitas).

Mungkin usaha untuk tetap berada dalam komunitas kekeluargaan agak terasa lebih mudah bagi rekan-rekan yang tinggal di Pulau Nias, tetapi bagi orang seperti saya Nias perantauan, terlebih-lebih yang pasangannya bukan orang Nias, bekerja dan tinggal dalam komunitas yang tidak banyak berinteraksi dengan orang Nias, butuh usaha ekstra.

Baca juga:  Defisit APBD Kabupaten Nias Barat Rugikan Masyarakat

Menerapkan dan tetap berada di dalam filosofi bila-bila gafi manu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak tantangan yang kita bisa hadapi, baik yang berasal dari diri kita sendiri, dari sesama orang Nias maupun dari orang yang berasal dari kultur lain. Saya mencoba menginventarisasi tantangan-tantangan itu:

  1. Individu-individu kita sendiri itu unik, bukan karena masalah suku, melainkan karakter dan kecenderungan. Meskipun kita dibesarkan dalam keluarga yang sama dengan pola didik yang relatif sama, tetapi toh kita menemukan bahwa di antara yang bersaudara, ada yang sangat suka berkomunitas, tetapi ada yang bahkan nyaris asosial. Kecenderungan ini tentunya berlaku di semua situasi di mana si individu berada. Mengatasi in tentunya harus timbal balik, si individu dan lingkungan sosialnya.
  2. Inferiority complex syndrome (rasa minder) sebagai orang Nias. Memang dalam kenyataan, kemajuan di kepulauan Nias banyak yang tertinggal, demikian juga dengan sumber daya manusia (SDM) orang Nias yang karena faktor-faktor pendidikan dan wawasan masih tertinggal. Jika tidak mampu melihat dengan perspektif yang benar, ini berpotensi menciptakan rasa rendah diri yang tidak pada tempatnya. Barangkali mari kita mencoba bermain presentase, mungkin kita bisa tertolong bahwa realitanya tidak demikian. Berapa jumlah orang Nias, berapa persen yang sudah berpendidikan bahkan menjadi leader? Jangan membandingkan secara tidak setara dengan komunitas lain yang populasinya puluhan juta. Demikian juga dengan ketertinggalan di daerah kita sendiri, di dunia yang semakin sumpek ini, kepulauan Nias barangkali hanya sebagian kecil daerah yang masih alami dan itu nilai tambah, bukan ketertinggalan.
  3. Ketiadaan panutan dan kekecewaan terhadap pemimpin (orang yang dituakan). Di Nias ataupun di luar Nias, ada sesepuh-sesepuh. Kadang beberapa tidak bisa menjadi panutan dan teladan bahkan beberapa punya agenda tersendiri sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam komunitas. Berangkat dari filososofi bila gafi manu tadi, tentunya itu sangat bisa terjadi. Tinggal bagaimana kita secara dewasa membedakan kelemahan individual dari kebersamaan.

Apa yang seharusnya kita kedepankan dalam menerapkan filosofi bila-bila gafi manu jauh lebih penting dari kendala-kendala yang ada. Izinkan saya merangkumkannya sehingga barangkali akan membantu kita mewujudkan persaudaraan orang Nias secara sehat

Menjadi orang Nias bukanlah pilihan. Sama seperti seseorang terlahir sebagai Batak, Jawa, Madura, dan sebagainya. Keunggulan dan streotype selalu ada di setiap budaya dan suku. Mari kita mengedepankan keunggulan-keunggulan dari kearifan budaya Nias yang kita miliki, terutama dalam keguyuban persaudaraan. Jangan kita terpuruk di tugela (tempat bertengger) mari kita mohombo (terbang), berkarya, melihat dunia dalam perspektif yang luas. Lupakan segala zabila (hal-hal yang bengkok) mari luruskan semua sayap-sayap secara bersama sehingga eksistensi kita terus memberi kiprah.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.