Friday, April 26, 2024
BerandaSosokPersonaApolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan "Kamus Li Niha"

Apolonius Lase dan Kisah di Balik Penerbitan “Kamus Li Niha”

Tidak Putus Asa

Enam belas tahun sebelum buku itu diluncurkan, Apollo adalah seorang lulusan SMA yang hampir putus asa. Menyikapi keadaannya, Apollo ingat betul petuah ibunya, almarhum Gatina Lase, yang mendidiknya tidak berputus asa setiap menemui kegagalan. “Kegagalan adalah kesempatan yang tertunda,” ujarnya.

Pada masa memasuki kelas II SMP, Apollo putus sekolah selama dua tahun dan harus terjun membantu ibunya bekerja di ladang sewaan di desa lain. “Saya memilih ikut ibu bertani sawah di daerah Idanoi, Kecamatan Gidö. Ibu menyewa lahan milik orang lain di persawahan Lewuö Guru. Kami tinggal di sebuah saung sederhana di tengah sawah dan pulang seminggu sekali ke kampung. Selama di sawah saya sering menangis ingin sekolah lagi,” kenangnya atas pengalaman hidup masa kecilnya.

Ayahnya, Talisökhi Lase, hanyalah seorang pensiunan kepala sekolah dan ibunya seorang petani. Mereka tidak mampu mengirimkan mantan Ketua OSIS SMA Negeri 3 Gunungsitoli ini, pemegang prestasi juara di SD sampai SMA, ke bangku kuliah. “Kebanggaan prestasi di sekolah yang saya raih bertahun-tahun, seolah tak bermakna saat itu,” ujar anak ke-11 dari 13 bersaudara itu.

Untuk menemui  jalan terbaik,  Apollo berangkat ke Jakarta melalui Pelabuhan Gunungsitoli menumpang kapal Lawit meninggalkan desanya, Desa Hiligara, Kecamatan Gunungsitoli. Dia tiba di Jakarta, 14 November 1994.

Pada awalnya, Jakarta  tak seindah bayangan yang ada dalam sinetron yang biasa ia lihat di televisi. Apollo kembali melintasi kegagalan demi kegagalan.

Dia menyaksikan keadaan yang berbeda dari bayangannya yang indah sebelumnya. Di Jakarta, Apollo menemui banyak rumah kumuh, menyaksikan banyak orang tidur di bawah jembatan, bukan melihat sungai seperti biasa dilihatnya di kampungnya. Apollo bukan langsung bekerja di belakang meja seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Sebelum diterima sebagai karyawan di Kompas, Apollo sempat bekerja di sebuah perusahaan garmen. Tak lama kemudian perusahaan itu tutup, ia pun mesti menganggur dan terpaksa menumpang hidup di tempat abangnya. Lantas, pekerjaan mengamen di atas bus atau dari rumah ke rumah akrab ia lakukan untuk sekadar bertahan. Bantuan abang sepupunya, anak dari adik perempuan ayahnya, yang tinggal di Kebayoran Lama, juga tak pernah ia lupakan. “Anak tante saya itu sudah banyak membantu saya. Saya tahu mereka terus diberkati Tuhan dengan kebaikan mereka,” ujarnya.

Baca juga:  AKBP Dr Hilarius Duha, Polisi Rendah Hati dan Cinta Keluarga

Kenyataannya, dengan ijazah SMA, Apollo bisa bekerja di pabrik garmen, kemudian menjadi pengamen. Namun, nasihat sang Bunda terus terngiang, “Jangan putus asa.”

Suatu ketika dia lewat depan kantor harian Kompas di Palmerah, Jakarta. Atas saran temannya, ia memberanikan diri mengajukan lamaran.  “Saya sama sekali tidak tahu mau bekerja apa, ada lowongan apa. Dalam pikiran saya, Tuhan, saya butuh pekerjaan. Itu saja,” kata Apollo.

Tuhan sungguh menyayanginya. Pada 1996, Apollo berhasil menjadi seorang pemeriksa berita di harian Kompas—membetulkan salah huruf atau ejaan. “Saya langsung menangis berurai air mata. Senang tak terkirakan. Saya berlutut dan bersyukur kepada Tuhan. Tuhan, Engkau sangat baik…. Tuhan engkau mengirimkan malaikat penolong untukku. Di saat aku sangat membutuhkan, Tuhan buka jalan. Itu doaku kala itu,” ujar Apollo.

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Kegagalannya memasuki bangku kuliah beberapa tahun sebelumnya, berhasil ditebusnya setelah bekerja, menikah, dan memiliki seorang anak. Dia kemudian mendaftar sebagai mahasiswa Jurusan Komunikasi di Fakulitas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dengan biaya sendiri dan meraih gelar sarjana pada 2005 dan diwisuda pada 2006. Masa perkuliahan ia selesaikan hanya dalam waktu 3 tahun. “Saya terus mengambil semester pendek setiap kali dibuka kesempatan,” kata Apollo.

Khusus bagi generasi muda Nias, Apollo berpesan: “Generasi muda Nias sekarang harus menjadi pejuang dan pekerja keras. Meskipun orangtua kita berpunya dan memiliki banyak harta, tetapi bila tidak kita terlatih dengan bekerja keras, maka hidup ini akan tidak tertantang sehingga sedikit saja masalah, bisa akan menjadi guncangan hebat,” ujarnya memberi inspirasi menutup pembicaraan. [JANNERSON GIRSANG, Kontributor NBC Tinggal di Medan]

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments