Tuesday, March 19, 2024
BerandaBreaking News"Quo Vadis" Pendidikan di Nias Selatan?

“Quo Vadis” Pendidikan di Nias Selatan?

Oleh Apolonius Lase

Beberapa waktu lalu—15-18 Juni 2015, kami berkesempatan melakukan perjalanan ke Nias Selatan bersama dua teman. Dari antara banyaknya topik pembicaraan soal Nias Selatan dengan penjemput kami, yang juga orang Nias Selatan, kondisi pendidikan dan tata kelola pemerintahan mendominasi obrolan kami.

Dari Bandar Udara Binaka sampai ke Telukdalam, kota yang dituju, topik pembicaraan yang seru tentang kondisi Nias Selatan terus berkelindan. Waktu dua jam lebih serasa kurang karena Pak Sarumaha, driver kami, begitu antusias menceritakan kondisi Nias Selatan kepada kami dengan gaya penyampaian yang sekali-sekali dibumbui humor. Hal itu membuat perjalanan kami tidak menjemukan. Sampai kami berhenti sejenak di Bawölato untuk makan siang pun, kami terus “disuguhi” isu-isu yang sedang hangat di Nias Selatan.

Meskipun kami terkadang tertawa, tetapi tetap saja, hati ini tak percaya dengan kondisi yang ada, rasa miris tetap bergelayut dalam pikiran.

Berdasarkan pembicaraan seru itu, saya dan dua teman pun mencoba turun langsung ke lapangan. Mencoba merujuk silang kabar yang kami dengar dengan fakta di lapangan. Kami menyusuri jalan dari Lahusa menuju Kecamatan Gomo, terus ke Börönadu, desa tua, yang penuh dengan hikayat sampai tembus ke kantor Camat Börönadu.

Untuk sampai ke Börönadu, yang berjarak sekitar 8 kilometer dari kota Kecamatan Gomo, perjalanan menggunakan sepeda motor penuh perjuangan karena jalan yang rusak, tidak beraspal, serta licin, membuat keringat bercucuran, menyeberang tiga sungai tak berjembatan, dan sesekali sepeda motor terjatuh dan mogok di jalan berbatu yang terjal. Jalan penuh perjuangan itu harus ditempuh hampir satu setengah jam lebih.

Sesaat perasaan lega karena bisa sampai di tempat yang dituju. Namun, perjuangan belum berakhir. Perjuangan untuk pulang tentu membutuhkan energi ekstra, ditambah lagi hari sudah mulai gelap.

Penelusuran awal kami adalah bagaimana soal pendidikan di tempat ini? Daerah yang terus digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah dengan program gratis dari SD sampai perguruan tinggi.

Ternyata apa yang kami dapatkan adalah anak-anak SD, SMP, dan SMA banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak bisa menjawab soal matematika sederhana sekalipun. Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Namun, ketika kami tanyakan lebih jauh, ternyata guru-guru di sekolah anak-anak tersebut jarang hadir di sekolah.

Pulang dari Börönadu, Gomo, kami mencoba menjajal wilayah lebih ke selatan. Kami menuju ke arah Mo’ale. Namun, kami mengurungkan niat singgah ke Mo’ale, kami meneruskan perjalanan dan singgah di Simandraölö.

Saat berhenti di sebuah kedai, sambil membeli minuman dan makanan ringan, kami mencoba iseng bertanya kepada seorang remaja, sebut saja Gadis, yang sedang menggendong bayi kecil. Bayi yang tidur pulas itu ternyata anak dari tetangga Gadis. Sang gadis mengaku baru saja tamat SMA dan tak bisa melanjut karena ketiadaan biaya. Orangtuanya hanyalah petani dan penyadap karet.

gadis-di-niasLha, bukankah Nias Selatan sedang menggalangkan program pendidikan gratis? Mengapa Gadis tak memanfaatkan kesempatan itu? Gadis memang mendengar ada program gratis itu. Namun, menurut dia, ayahnya berpikir dua kali karena biaya untuk hidup jika kuliah tidak bisa disanggupi.

Dari pembicaraan itu, kami menjumput sejumlah informasi yang membuat kami merinding. Ternyata, siswa-siswa di sekolah Gadis kebanyakan tidak belajarnya daripada belajar. Guru-guru jarang hadir di sekolah. Kehadiran guru tergantung pada kepala sekolah. Jika kepala sekolah tidak masuk, para guru pun tidak datang ke sekolah.

Baca juga:  Tim SAR Gabungan Temukan Pdt Herman Baeha di Perairan Pulau Asu

Meskipun begitu, anak-anak tetap pulang sesuai jadwal, sekitar pukul 13.30. Mereka hanya bermain-main di sekolah. Mereka memilih tidak pulang ke rumah agar terhindar dari pekerjaan membantu orangtua mereka yang kebanyakan petani.

Namun, yang mengentakkan adalah bahwa pada ujian nasional 2015 yang baru berlalu, Gadis menyatakan, dia dan teman-temannya tak perlu belajar lagi. Sebab, sekolah telah menandai jawaban pada kertas soal UN.

“Kami tak perlu membaca soal. Pilihan jawaban sudah ditandai dengan pensil. Pekerjaan kami tinggal menghitamkan bulatan-bulatan di kertas jawaban,” ujar Gadis.

Sontak, mendengar hal itu, kami kaget. Namun, orang Telukdalam yang bersama dengan kami terlihat tidak kaget, sebut saja namanya Pak Kum. “Wah, Bapak kaget, ya? Praktik itu hampir semua terjadi di sekolah-sekolah, di hampir semua tingkatan. Kalau kami di sini sudah tidak heran, Pak” ujar Pak Kum.

Penasaran, kami pun bertanya apa saja yang dipelajari selama di SMA. “Kami banyak tidak belajarnya, Pak!” ujar gadis itu sedikit malu. Buku catatan sekolah semasih belajar di SMA diakui Gadis tak banyak diisi. “Jika 8 x 7 berapa, Dek?” Si Gadis terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Matematika sesederhana itu. “Kalau rumus Pytagoras pernah dengar?” Si Gadis menggelengkan kepala sambil menahan malu.

Rumus Pytagoras adalah rumus Matematika yang mulai dipelajari di Kelas II SMP, yakni c2 = a2 + b2, yang merujuk pada sisi kuadrat panjang sisi di hadapan sudut sebuah segitiga (c) sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi lainnya (a dan b).

Penelurusan kami berlanjut, Gadis memberi tahu bahwa untuk “bantuan” pihak sekolah menyediakan jawaban tersebut, para siswa peserta UN diwajibkan membayar Rp 300.000. Untuk permintaan uang itu, pihak sekolah mengundang para orangtua murid untuk persetujuan. “Itu dibilang sebagai uang perpisahan.” Namun, kata Gadis, acara perpisahan itu memang tidak ada. “Itu namanya saja,” kata Gadis.

Pak Kum mencoba menegaskan, “Pasti ada pesan dari pihak sekolah untuk tidak boleh membocorkan ini, kan?” Gadis menjawab, “Iya”.

Pak Kum menjelaskan, “Saya sudah banyak tahu di sekolah-sekolah lain seperti itu soalnya. Makanya saya mencoba mengonfirmasi kepada Gadis apakah disekolahnya begitu, dan ternyata sama, kan?”

Ketika kami tanya apakah besaran uang yang diminta kepada siswa untuk “perpisahan” itu sama? Menurut Pak Kum, besarannya beda-beda. Kisarannya bisa dari Rp 300.000 hingga Rp 800.000. “Silakan tanyakan saja di daerah lain. Itu saja yang saya tahu,” ujar Pak Kum bersemangat. Benar saja, ketika kami melanjutkan perjalanan ke Hilimondrege Raya, kami mendapat informasi dari seorang ibu, anaknya dimintai uang Rp 800.000.

“Kok beda ya. Kami dimintai Rp 800.000. Tahu Rp 300.000 di tempat lain, di sini lebih mahal, saya memilih tidak bayar,” ujarnya. Namun, ibarat nasi telah menjadi bubur, semua sudah berlalu.

Si Gadis merasa tidak keberatan dengan “bantuan” yang diberikan oleh pihak sekolah saat UN itu. Bagi dia, mendapatkan selembar ijazah itu adalah yang utama. Ia percaya bahwa tujuan ia sekolah adalah mendapatkan ijazah.

RELATED ARTICLES

24 KOMENTAR

  1. wah, ini sih parah… BUPATI nya gembar gembor pendidikan gratis, hasilnya nihil… Hari gini masih begono situasinya sih parah. Dunia sudah diambang krisis ekonomi global, tambah susah nyari duit. Thanks informasinya. ..

    • Tak pernah ada pendidikan gratis…. ada pembohongan publik, dan ironinya masyarakat kemakan dan teperdaya. Prihatin memang.

  2. Dalam diskusi saya dengan salah satu teman baik yang juga sedang berharap bisa mendapatkan dukungan partai untuk pencalonannya di Nias Barat, waktu itu dia sampaikan bahwa Nias Selatan dikenal dengan program pendidikan dan kesehatan gratis dari bupati.

    Saya sampaikan, bahwa itu bukan ide dan murni program bupati, karena itu adalah program nasional. Alokasi APBN terdapat pendidikan di Indonesia sebesar 20%. Jadi itu adalah kewajiban setiap kepala daerah dimanapun di Indonesia untuk memastikan bahwa pendidikan dan kesehatan menjangkau mereka yang seharusnya menerimanya.

    Trus apa yang salah dengan program ini? Dalam konteks program pendidikan "GRATIS", maka yang tidak diantisipasi adalah KUALITASNYA. Kamu bisa bergelar sederet apapun, klo ga punya KUALITAS, maka omong kosong. Program ini cenderung hanya untuk menghabiskan (baca: memanfaatkan) anggaran.

    Ketika ada penawaran gratis, tentu saja permintaan banyak karena kondisinya demikian.

    Para lulusannya, akhirnya hanya mampu berlomba untuk bisa menjadi PNS. Dan diantara yang kuliah juga udah jadi PNS, dan mereka kuliah hanya untuk mendapatkan penyesuaian golongan, mendapat gelar, kenaikan pangkat.

    Bentar lagi Indonesia akan memasuki MEA (masy ekonomi asean). Gelar aja tidak cukup, Meningkatkan kualitas, Generasi Nias dan Nias Selatan perlu diberi ruang dan infomasi yang seluas2nya untuk mendapatkan keahlian (skill) bersertifikat sesuai dengan bidang pendidikan akademisnya.

    Kalo ga, lulusan sarjana di Nias dan Nisel seperti katak dalam tempurung. Nunggu penerimaan PNS seumur hidup dan jika ada peluang, sogokan berapapun diupayakan untuk dipenuhi yang penting jadi PNS.

    For Nias better!. Shgl

    • Terima kasih Bung Bargham. Haniha zehao zitenga khönia…? Banyak yang tak peduli karena tidak merasa memiliki.

      Hemat saya, jika kita peduli, sesuatu harus kita lakukan. Entah apalah itu..yang penting bisa mengubah keadaan yang dialami oleh Si Gadis.

      Ya'ahowu

  3. Bung Apolo… saya baru sempat baca tulisan ini. Dan belum membaca separuh tulisan, saya tdk tahan berkomentar. Terlalu… prihatin sekali… kok bodoh sekali sih… ah… banyak muncul dalam pikiran. Sebagai 'guru' saya gemes dan sangat penasaran ingin bisa melakukan sesuatu…marah kok sampai begitu…., dst….. Tp apa daya…. hanya sebatas itu… dan tidak tahu bagaimana bisa melakukan ide-ide di kepala ini. Itu saja…. 🙁 🙁 sangat prihatin. Semoga ada yang dapat melakukan sesuatu. Semoga pasangan 'terbaik' cakada sekarang dapat mengamati hal-hal ini.

    • Pak @elisati: itulah kondisi senyata-nyatanya. Mungkin yang dikabarkan pihak lain bisa beda… Namun, menurut saya, ini tak boleh dibiarkan. Kudu, kata orang Betawi, diubah. Gerakan warga untuk.perubahan harus dilakukan…

      • Bung Apolo, saya mengenal 1 pasangan cakada Nisel. Semoga mereka dapat memperbaiki hal-hal di atas. Saya pikir saya akan teruskan tulisan ini kepada mereka. tq

  4. Bg Apolo@,itulah realita yg terjadi di nisel dan hal itu sudah berlangsung lama(UN bagi tiap tingkatan) sehingga kualitas anak2 yg tamat sangat buruk. Klo nilai UN tiap tahun di nisel itu bagus2,itu bukan krn siswanya pintar ttpi krn yg mengerjakan soal2 UN itu adalah guru2 di sekolah itu.
    Selain itu,banyak bantuan sekolah (untuk murid atau bangunan sekolah) dr pusat tdk sampai sasaran krn sdh disalahgunakan oleh kepala sekolah dan pihak2 terkait.
    Saya bisa tau hal ini krn saya merpkan salah seorang masyrkat nisel.

    • Hai Bro Aris Laia. Sangat memprihatinkan jika kondisi itu sudah lama terjadi. Tentu kita mempertanyakan kehadiran pemerintah daerah. Ke mana saja mereka ya?

  5. Tulisan yg sangat menggugah hati, tak bisa dipungkiri memang atas apa yg terjadi di nias selatan. Sy pernah lama tggal di nias selatan sbg petugas kesehatan. Tidak heran memang jika kita jumpai hal spt itu dsna. Saya rasa bukan hanya dr segi pendidikan saja..bidang Kesehatan juga sgt memprihatinkan. Kebutuhan akan tenaga kesehatan tidak dihiraukan pemda stmpt. Hanya janji2 manis saja yg ada, sungguh ntah sampai kapan nias selatan akan berubah jika saja pemimpin didaerah ini msh diisi oleh org2 yg hanya mementingkan keegoisan dan ketamakan . Miris.

    • Hai nn. Terima kasih. Betul Pak. Selain pendidikan, bidang kesehatan juga menjadi masalah tersendiri di Nias Selatan. Senang jika nn mau menulis reportase selama berada di Nias Selatan. Kabar Nias menyediakan sarana untuk itu. Jurnalisme warga. #berhentidiam #ayoturuntangan.

  6. Tulisan yg amat menarik. Juga amat bermanfaat. Program pendidikan gratis tentu sj bermanfaat, namun blm menyelesaikan masalah besar dunia pendidikan kita. Diagnosis yg lbh mendalam dan komprehensif akan menuntun kita utk mendapatkan obat yg sesungguhnya, dengan tindakan yg konkret dan segera.

  7. Nias Selatan sesungguhnya sebenar lebih dari yang telah digambarkan oleh bung Apolo. Untuk masuk ke pendidikan gratis khususnya bangku kuliah, klo tidak salah tahun 2013 itu jurusan dokter rata2 anak pejabat. Silahkan di crosscek di UNPRI. Untuk tahun 2015, ada kabar klo untuk lewat seleksi D3/Bidan/Akper minimal 10JT, S1 30JT dan dokter sekitar 50JT. Itulah pendidikan gratis di Nias Selatan

  8. Saya ikut prihatin kondisi pendidikan di Nias Selatan. Kepala sekolah tidak bekerja dengan hati. Sebab ia menjadi pimpinan di sekolah bukan karena penilaian pengabdian dan prestasi, tapi karena bayar atau sebelumnya ia mantan tim sukses pada pilkda. Pimpinan di atasnya juga demikian. Ini pasti berbanding lurus dengan tinggi rendahnya loyalitas, jiwa pengabdian, ketaatan serta kejujuran dalam melaksanakan tugas. Kita berharap agar Bupati yang berkuasa tidak mempolitisasi pendidikan, karena pendidikan mencetak generasi masa depan Nias Selatan dan Ono Niha pada umumnya. Saohagolo informasinya Bung Apolo.. Ya'ahowu.

    • Lembaga sekolah menjadi ajang untuk kekuasaan, dibawa ke ranah politik, dan akibatnya, anak-anak sekolah yang tidak berdosa pun (generasi muda) menerima dampaknya. Hak mereka untuk belajar dan memperolah pendidikan yang layak dan bermutu diabaikan secara secara sadar oleh pengambil keputusan. Ada kelalaian yang terstruktur. Terima kasih apresiasinya Pak Sediaro Zendrato

  9. Tak perlu komentar, karena keawajaran. Ini jika berbicara masalah kenyataan.

    Sebab mengapa<? ya, karena keinginan luhur dari bapak pendidikan pun belum terwujud.

  10. Saya ingat mutu pendidikan di Nias Selatan dulu tahun 70an justru sangat maju. Orang orang dari luar malah bersekolah di sana. Namun sekarang benar benar sudah terpuruk…

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments