Thursday, April 25, 2024
BerandaPilkada 2015OpiniPilkada dan Peringatan HUT Ke-70 Republik Indonesia

Pilkada dan Peringatan HUT Ke-70 Republik Indonesia

NIASPIRASI

Oleh Abineri Gulö

Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan momentum khusus untuk direfleksikan. Bukan saja karena ritual tahunan biasa ataupun kegenapan angka 70 itu sendiri. Yang lebih menarik adalah mencoba mengukur dimensi semangat pilkada serentak yang bertepatan pada 2015 sebagai langkah awal dimulainya bangunan demokrasi lokal dalam mengatur siklus pergantian pemimpin daerah secara serentak.

Sebagaimana dwitunggal kepemimpinan Soekarno-Hatta dalam mengemban tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama pasca-kemerdekaan dan upaya pengambilalihan kekuasaan dari Jepang yang sangat menyeramkan saat itu. Para kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2015 akan menjadi pelaksana mandat rakyat di daerah dalam mendekatkan janji politiknya mewujudkan kesejahteraan yang tidak kalah menyeramkan pula tantangannya, seperti kemiskinan, keterbelakangan, keterasingan, dan jamak jenis tidak sejahtera yang masih melanda rakyat Indonesia.

Tema HUT Ke-70 Kemerdekaan RI, ”Ayo Kerja”, memberikan tantangan tersendiri bagi penulis untuk mencoba merefleksikan separuh perjalanan tahapan pilkada dalam kaitannya dengan momentum perayaan hari jadi ke-70 NKRI.

Pernik Pilkada hingga Masa Pendaftaran

Banyak pihak yang menaruh harapan pada pilkada serentak perdana 2015 menjadi titik awal mewujudkan gagasan perubahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya perhatian publik pada pemberitaan media tentang pelaksanaan pilkada serentak perdana pada 9 Desember 2015. Bagaimana tidak, sejak September 2014, sebuah drama Sidang Paripurna DPR pada voting akhir memutuskan dan menetapkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh lembaga DPRD.

Tak ayal, publik saat itu melakukan protes massal melalui media sosial hingga aksi turun ke jalan mendesak pemerintah dan DPR mengembalikan pilkada dengan cara Pemilihan langsung. Protes publik  membuahkan hasil, yakni Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati serta Wali Kota. Intinya, bahwa pilkada langsung dinilai masih jalan yang pas dan tepat bagi pemilihan para kepala daerah di negeri ini. Mutakhirnya, pilkada pun dibuat menjadi serentak dalam beberapa gelombang keserentakan. Pilihan keserentakan perdana itu oleh KPU ditetapkan 9 Desember 2015.

Pada dua hingga tiga pekan terakhir dalam pencermatan penulis menemukan lokus pemberitaan utama media terarah pada calon tunggal di 7 daerah kabupaten kota. Bahkan, Presiden bersama lembaga penyelenggara pemilu mengadakan rapat koordinasi terbatas dengan topik antisipasi pada daerah minus kontestan pilkada.

Ada yang berkata bahwa perppu bisa menjadi jawaban; ada pula yang berkata perppu belum tepat. Benar saja, rakor itu merintis sebuah jalan tengah dengan rekomendasi Bawaslu RI tentang perpanjangan waktu pendaftaran. Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh KPU dengan mengeluarkan SK perpanjangan kedua kalinya masa pendaftaran 9-11 Agustus 2015.

Hingga akhir batas pendaftaran perpanjangan, 11 Agustus, masih menyisakan 4 daerah dengan kontestan tunggal. Pertanyannya, gejala apa yang membuat peserta pilkada mengalami perubahan mendasar soal langkanya calon? Bahkan, ada calon yang sudah tiba di kantor KPU daerah mau mendaftar tiba-tiba hilang begitu saja. Pencalonannya pun tidak bisa diproses. Apakah hakikat partai sebagai sarana meraih kekuasaan di tingkat lokal tidak diminati?

Baca juga:  Terbentur Aturan Selisih Suara, MK Tolak Gugatan Idealisman Dachi

Boleh berasumsi, tetapi tidak boleh mengaksioma kebenaran subyektif. Karena itu, penulis sebatas menganalisis gejala dan tanda-tanda tunggal peserta pilkada.

Pertama, di tingkat lokal terdapat gejala kejenuhan politik yang sulit dibantah. Pileg dan Pilpres 2014 merupakan arena keras keterbelahan warga belum terpulihkan. Energi keterpecahan di antara saudara dan tetangga masih membekas pada ingatan kontestan pemilu. Belum lagi para praktisi politik sudah habis-habisan pada kedua pesta besar tersebut dan belum sempat kepikiran Pilkada Serentak 2015.

Pada dimensi ini patut menjadi perhatian elite negeri ini bahwa issue Pilkada serentak tidak boleh dipaksakan pada kondisi khas dan kekinian sosial-politik di daerah. Selain memberikan ruang dan waktu relatif cukup bagi masyarakat daerah dalam mempersiapkan tarung pilkada biarkan 4 daerah tersebut menjadi wadah dan arena penelitian pegiat pemilu.

Kedua, jalan berliku dalam mengurus rekomendasi parpol. Kompetisi dalam memperoleh rekomendasi pimpinan parpol bukan perkara mudah. Dari dua sumber informasi yang cukup  dipercayai, penulis dapatkan bahwa  sistem penjaringan calon yang sedemikian ketat, baik dari aspek kupasitas calon, tingkat elektabilitas maupun modal finansial menjadikan ”nyali” para kandidat menjadi ciut.

Dalam beberapa pemberitaan media mengungkap lorong gelap penjaringan calon kepala daerah dengan permintaan mahar. Jika hal ini merupakan sebuah fakta tentu menjadi mata rantai belenggu demokrasi yang masih mencengkeram negeri ini.

Ketiga, sebuah sukacita besar bagi para penyelenggara pemilu ketika instrumen negara mengakui indeks pertumbuhan pembangunan demokrasi dengan takaran yang proporsional. Pemberian Anugerah Penghargaan bagi 2 lembaga penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu, melalui ketua lembaga masing-masing, yaitu Husni Kamil Manik dan Mohhamad, sebagai Penegak Demokrasi pada 13 Agustus 2015 atas prestasi kedua lembaga tersebut dalam menggelar hajatan Pileg dan Pilpres 2014.

Penghargaan bangsa Indonesia melalui Presiden Joko Widodo kepada para pekerja pemilu yang sudah berdedikasi dalam mendorong pemilu yang lebih baik sejatinya dimaknai dalam dua sikap.

Pertama, sebagai penambah motivasi bagi pegiat dan praktisi pemilu bahwa negara menghargai jasa dan dedikasi para penyelenggara sejauh melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahkan memberikan dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan harapan normatif yang diatur dalam ketentuan.

Kedua, bahwa penghargaan ini haruslah dapat dimaknai sebagai tanda peringatan dini dari rakyat Indonesia melalui pemerintah agar penyelenggaraan pilkada dijamin berjalan secara fair.

Pelopor terhadap Pilkada yang jurdil tentu oleh dan dari penyelenggara pilkada. Sebagaimana amanat Husni Kamil Manik pada upacara peringatan detik-detik Proklamasi di Kantor KPU pusat pada 17 Agustus 2015, di Jakarta, bahwa dengan modal keberhasilan Pemilu 2014, kepercayaan publik dan hasil indeks demokrasi, KPU dengan seluruh jajarannya akan mampu menyelesaikan dan menyukseskan Pilkada 2015. “Selamat merayakan HUT Kemerdekaan RI ke 70, jayalah negeriku, jayalah bangsaku, dan jayalah demokrasiku”.

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments