Thursday, April 25, 2024
BerandaBudayaAdat IstiadatOrang Nias Pantang Memberi dengan Jumlah Tiga

Orang Nias Pantang Memberi dengan Jumlah Tiga

Oleh Apolonius Lase

Dari banyak kebiasaan yang dijumpai di pulau paling Barat Indonesia itu, ada satu hal yang unik yang perlu kita ketahui, yakni pantangan memberi dengan nominal tiga. Orang Nias atau Ono Niha memiliki kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun untuk tidak memberi sesuatu kepada orang lain dengan jumlah tiga.

Barangkali kedengarannya aneh. Akan tetapi, itulah fakta yang bisa kita jumpai di Nias hingga sekarang. Kebiasaan ini bisa kita lihat di kampung-kampung tatkala para orangtua, misalnya, meminta pinang kepada tetangga yang sama-sama memiliki kebiasaan makan sirih. Maka, tetangga yang dimintai pinang tersebut akan memberikan pinang miliknya pasti dengan jumlah selain tiga.

Sekilas ini memang sama halnya dengan fatwa ulama di Eropa—yang baru-baru ini dilansir—larangan bagi para perempuan muslim untuk memegang pisang, timun, atau mentimun, karena dianggap bisa mengundang kemaksiatan sebab bentuknya seperti penis (Tribunenews.com, 12/12/2011). Larangan ini menuai kontroversi di seluruh dunia.

Akan tetapi, di Nias sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan di Nias. Kearifan lokal di Nias ini juga tidak perlu mengundang kontroversi karena ini hanya menyangkut adat-istiadat dan tata kesopanan yang berlaku dalam masyarakat Nias.

Alasan di balik pantangan memberi dengan nominal tiga ini ternyata cukup sederhana dan agak nyeleneh. Jumlah tiga diidentikkan atau diasosiakan dengan jumlah elemen alat kelamin laki-laki yang berjumlah tiga (penis dengan dua buah zakar). Berawal dari situ, setiap pemberian orang Nias, jika jumlahnya tiga, selalu dikait-kaitkan dengan jumlah elemen alat kelamin itu sehingga dianggap tidak sopan apabila memberi sesuatu dengan jumlah itu. Apalagi, jika sesuatu yang diberikan itu bentuknya bulat dan kecil.

Para orangtua di Nias selalu mewanti-wanti kepada anak-anaknya agar kalau memberi kepada orang lain harus memperhatikan hal ini. ”Böi be’e mbualau ba niha na tölu. Alakha da’ö (jangan memberi kepada orang lain dengan jumlah tiga, pamali [tidak sopan]),” begitu kira-kira ucapan para orangtua kepada anak-anak mereka.

Entah bagaimana, ”pesan” orangtua itu lalu merembet dan terus berlangsung hingga sekarang sehingga ketika orang Nias memberi dengan jumlah tiga akan merasa tidak nyaman atau seperti kurang afdal serta ada rasa tidak sopan.

Baca juga:  Fondraru

Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman dan bergulirnya waktu, terkadang ”konvensi” ini tidak lagi berlaku, apalagi bagi orang Nias yang berada di perantauan. Sepertinya, orang-orang Nias yang ada di perantauan tidak lagi terlalu memercayai hal ini. Dan, ada kecenderungan orang Nias yang di perantauan mengikuti kebiasaan-kebiasaan daerah di mana mereka berada. Peribahasa ”Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” agaknya berlaku bagi mereka yang tinggal di perantauan.

Para ahli antropologi dan pencinta budaya Nusantara perlu menjadikan kebiasaan di Nias ini sebagai obyek penelitian guna menjawab pertanyaan, mengapa dan apa tujuan sebenarnya dari kearifan lokal di Nias ini. Apakah sekadar menjaga perasaan dan etika sopan santun di masyarakat Nias? Atau ada yang lain di baliknya.

Menurut saya, orang Nias di mana pun perlu mempertahankan kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki sehingga jati diri sebagai orang Nias tetap bertahan dan bisa diwariskan kepada anak cucu.

Pantang Bekerja pada Hari Minggu

Sama halnya dengan kearifan lokal orang Nias yang setiap hari Minggu pantang melakukan aktivitas seperti hari-hari biasa (mulai Senin sampai Sabtu). Kearifan ini berawal dari kedatangan agama Kristen di Pulau Nias yang menyatakan bahwa hari Minggu adalah hari Sabat atau Hari untuk Tuhan.  Hal ini diperkuat dengan hukum taurat yang ketiga. “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu …”.

Berawal dari situ, orang Nias pada hari Minggu “tidak boleh” melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti biasa yang sifatnya untuk mencari nafkah. Sebab, untuk menyiasati hal itu telah ada hari Sabtu sebagai “luo wangöhöna” atau hari persiapan yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup pada hari Minggu.

Tulisan kecil ini semoga bisa mengingatkan kita bahwa orang Nias perlu mempertahankan jati diri dan ciri khasnya sehingga kebanggaan sebagai salah satu suku bangsa semakin kokoh.*


Artikel ini pernah dimuat di www.nias-bangkit.com

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments